topeng

Kamis, 18 Desember 2014

cerpen "LINTAH" karya Djenar Mahesa Ayu

Ibu saya memelihara seekor lintah. Lintah itu dibuatkan sebuah kandang yang mirip seperti rumah boneka berlantai dua, lengkap dengan kamar tidur, ruang makan, ruang tamu dan kamar mandi dan ditempatkan tepat di sebelah kamar Ibu. Saya selalu merengek kepada Ibu untuk memelihara hewan lain, namun Ibu bersikeras memelihara lintah itu dan mempertahankannya sebagai hewan peliharaan tunggal di rumah kami.
Saya penyayang binatang. Namun saya sangat benci kepada lintah. Lintah tidak pernah puas atas apa yang dimilikinya. Begitu juga dengan rumah pribadi istimewa. Sepulang sekolah, sering saya temui lintah itu duduk di sofa ruang tamu kami. Kadang ia mengganggu saya ketika saya sedang menonton televisi dengan mengganti saluran seenak hati. Bahkan ia sering kedapatan sedang pulas tertidur di atas tempat tidur saya, dan tentunya membuat saya mengurungkan niat untuk beristirahat.
Dari hari ke hari kebencian saya memuncak. Sudah lebih enam bulan lintah itu tinggal bersama kami. Dan tabiatnya bertambah hari semakin kurang ajar. Pada suatu hari saya mengadu kepada Ibu, bahwa saya sulit beristirahat karena lintah itu sering meniduri tempat tidur saya. Di luar dugaan, Ibu membela lintah ketimbang saya. Ia mengatakan bahwa saya melebih-lebihkan. Ibu tidak percaya semua pengaduan yang saya utarakan. Yah… lintah ini memang sangat pandai menarik hati Ibu. Setiap Ibu pulang kerja, lintah duduk manis di dalam rumahnya. Lalu Ibu akan mengecupnya mesra dan membawanya masuk ke dalam kamarnya. Entah apa yang mereka lakukan disana. Saya hanya mendengar sayup-sayup suara ibu tertawa. Kadang hening tanpa satu suara. Namun pernah juga saya mendengar desahan napas Ibu dan lintah berbaur jadi satu.
Pada suatu hari Minggu, keingintahuan saya mendesak kuat. Saya mengintip dari sela-sela tirai yang sedikit terbuka ke dalam kamar Ibu. Dan saya sangat kaget melihat seekor ular yang merah menyala. Lidahnya menjulur keluar dan liurnya menetes ke bawah. Saya sangat jijik melihatnya. Namun Ibu dengan rakusnya menelan habis liur ular besar itu tanpa menyisakan satu tetes pun! Yang lebih mencengangkan lagi, ular itu berangsur-angsur mengecil. Saya tidak bisa membayangkan sebelumnya bila ular itu tidak lain adalah lintah.
Hubungan Ibu dengan lintah semakin erat saja. Kalau dulu Ibu hanya akan mengeluarkan lintah dari rumahnya dan membawanya ke dalam kamar, sekarang Ibu membawanya ke mana-mana. Bila kami makan bersama, lintah itu ditaruhnya di atas kepala dan berubah menjadi ular-ular kecil tak terhingga banyaknya. Setiap Ibu menyendok satu suap nasi ke dalam mulutnya, tidak lupa Ibu melemparkan sedikit makanan ke atas kepalanya dan ular-ular itu berebutan dengan rakus di sana.* Tentu saja saya mual dengan pemandangan ini. Namun Ibu tidak mau mengerti. Kalau saya tidak kuasa lagi menghabiskan makanan yang masih tersisa, Ibu akan memaki dan memaksa saya untuk menuntaskan. Saya dapat melihat mata ular-ular itu lebih menyala melihat penderitaan saya. Saya dapat melihat mereka tertawa tanpa suara.
Bila kami sedang menonton televisi, lintah itu tertidur di atas pangkuan Ibu. Dengkurannya sangat mengganggu dan bau tidak sedap menyergap seisi ruangan itu. Bila ada acara musik di televisi, lintah langsung terbangun dan Ibu akan memindahkannya kembali di atas kepalanya. Lalu lintah akan kembali berubah menjadi ular-ular kecil dan menari gembira. Saya pernah mencoba pura-pura terganggu nyamuk dan menyemprotkan obat serangga ke seluruh ruangan dengan harapan racun serangga itu dapat membunuh lintah. Tapi Ibu langsung melompat dari duduknya dan menempeleng muka saya. Dan mata kelihatan lintah benar-benar tertawa.
***
Akhir-akhir ini Ibu lebih sering tinggal di rumah. Ibu memang bukan pekerja tetap. Ibu adalah seorang penyanyi yang tentu saja tidak tentu jadwal kerjanya. Kadang Ibu pergi pagi sekali dan tiba larut malam. Kadang Ibu pergi sore hari dan baru kembali siang hari. Sering juga berhari-hari Ibu tidak pulang bila mendapat tawaran menyanyi di luar kota. Kalau dulu saya sering merindukan kehadiran Ibu, sekarang saya mengharapkan Ibu tidak pernah kembali. Saya sudah muak melihat kedekatan Ibu dengan lintah. Bila Ibu pergi, saya merasa tenang karena Ibu sudah mulai membawa lintah itu ke mana-mana. Saya pernah melihat Ibu di televisi menyanyi dengan lintah yang sudah berubah menjadi ular-ular kecil itu di atas kepalanya dan menari-nari. Saya pernah membaca di surat kabar bahwa Ibu sudah diberi julukan penyanyi Medusa. Memang banyak sekali tawaran sesudahnya. Dan ini membuat Ibu semakin saying kepada lintah. Mungkin karena Ibu sudah demikian terkenal, Ibu menjadi pilih-pilih tawaran. Dan inilah yang membuat Ibu lebih sering berada di rumah.
Ekonomi kami pun membaik. Kami jadi sering pergi jalan-jalan. Ibu membelikan saya berbagai macam barang yang tidak ingin saya punyai. Saya hanya ingin Ibu berpisah dengan lintah. Mungkin barang-barang yang Ibu belikan untuk saya semata-mata rayuan supaya saya tidak lagi membicarakan lintah.
Di luar rumah, bila kami sedang berjalan-jalan, Ibu tidak menaruh lintah di atas kepalanya. Ibu menaruh lintah di dalam kantung supaya tidak ada yang mengenali Ibu yang sudah berubah menjadi selebriti. Sering lintah licik itu diam-diam membelah dirinya menjadi dua, dan seekor menyelinap masuk ke dalam kantung saya tanpa sepengetahuan Ibu. Saya tidak berani mengadu, takut Ibu marah seperti dulu. Sesekali Ibu memasukkan tangannya ke dalam kantung untuk memeriksa keberadaan lintah. Dan alangkah puas mukanya bila tangannya bersentuhan dengan tubuh lintah.
Beberapa kali berhasil membelah diri tanpa sepengetahuan Ibu, lintah makin menjadi-jadi. Ia lalu membelah dirinya menjadi tiga, empat, bahkan lima. Dan kali ini sudah tidak lagi menyelinap ke bawah baju saya. Yang satu menyelinap ke pinggang saya. Yang satunya lagi ke perut saya. Dan mereka berputar-putar sesuka hati menjelajahi tubuh saya sambil mengisapi darah saya. Saya semakin membenci lintah. Dan saya mulai membenci Ibu.
***
Hari itu terik matahari begitu menyengat. Seragam sekolah saya basah oleh peluh yang tidak kunjung berhenti menetes. Sesekali saya merasakan perih saat setitik peluh jatuh tepat pada luka-luka bekas gigitan lintah. Namun penat dan perih mendadak hilang setibanya saya di rumah. Saya sangat bahagia mendapatkan mobil Ibu tidak ada. Saya masuk melalui ruang tamu yang kosong tanpa mereka. Saya menengok rumah lintah yang rapi tak terjamah. Saya masuk ke dalam kamar lengang dan kembali bahagia bersemayam dalam dada. Saya membuka pintu kamar Ibu. Bau wangi menyergap hidung saya, menyergap kerinduan, menyergap perasaan. Saya melangkah masuk. Memutar kunci dan merebahkan diri di atas tempat tidur Ibu sambil memandang lukisan kami berrdua yang terpampang di atasnya. Apakah semua lukisan keluarga yang menampakkan senyum bahagia hanyalah sandiwara? pikir saya. Tiba-tiba tercium bau yang sangat saya kenal dan begitu saya benci. Tanpa dapat saya hindari lintah sudah berdiri tepat di depan mata saya. Lintah itu sudah berubah menjadi ular kobrayang siap mematuk mangsanya. Matanya warna merah saga menyala. Jiwa saya gemetar. Raga saya lumpuh. Ular itu menyergap, melucuti pakaiaan saya, menjalari satu persatu lekuk tubuh saya. Melumat tubuh saya yang belum berbulu dan bersusu., dan menari-nari di atasnya memuntahkan liur yang setiap tetesnya berubah menjadi lintah. Lintah-lintah yang terus menghisap hingga tubuh saya menjadi merah.
***
Senja kelam hari itu. Hujan deras. Suara petir bertalu-talu. Sebekas kilat menerangi wajah Ibu.
“Ibu mau bicara padamu, Maha.”
“Saya juga ingin bicara pada Ibu.”
“Ibu akan bicara dulu, Maha. Sesudah itu giliranmu.”
Kembali petir meledak dan kilatnya memperjelas senyum Ibu.
“Kamu sudah besar. Sudah saatnya kamu mempunyai adik.”
Ibu diam menunggu jawaban. Namun saya lebih diam.
“Ibu mengandung, Maha. Dan sebentar lagi Ibu akan menikah. Sudah lama Ibu hidup sendiri semenjak ayahmu meninggal. Dan kamu sudah lama hidup tanpa Ayah.”
Mata saya membeliak lebar. Suara petir tidak lagi terdengar.
“Siapakah lak-laki yang berbahagia itu, Ibu? Siapakah laki-laki yang akan menjadi ayah saya?”
Angin membuka tirai jendela. Sekejap cahaya menerangi pengharapan jiwa.
“Lintah… .”
Angin mereda. Tirai kembali tertutup. Menghadirkan gelap, menghadirkan sunyi… .

Jakarta, 4 Juli 1999


*) Seorang tokoh wanita berambut bagai Medusa dalam novel Jazz, Parfum dan Insiden karya Seno Gumira Ajidarma.
Realitas Sosial dalam Prosa “Surabaya” karya Idrus
oleh: Bagus Afiansah


A.    Pendahuluan
1.1  Alasan pemilihan judul
Perjuangan masyarakat Surabaya dalam mempertahankan kemerdekaan dari serangan sekutu menjadi pembahasan serta fokus dari sebuah prosa berjudul “Surabaya karya Idrus. Dalam cerpen tersebut idrus menggambarkan keadaan sosial dan perjuangan masyarakat untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dari tentara sekutu di Surabaya yang dikenal dengan Pertempuran 10 November 1945. Keadaan yang digambarkan ialah pelarian-pelarian, kehilangan rumah, mengungsi, menjadi gila; tentara bambu runcing melawan tentara baja; tentara RI adalah cowboy dan tentara sekutu adalah bandit; pengeroyokan dan pembunuhan pengkhianat oleh orang-orang yang sudah geram, dan sebagainya.
Pertempuran 10 November 1945 yang cukup di soroti Idrus ialah mengenai persenjataan tentara sekutu yang dianalogikannya sebagai Tuhan yang baru. Kasdi (1986:256) dalam Pertempuran 10 November 1945 mendeskripsikan bahwa sekutu membuat Surabaya menjadi lautan api dengan senjata-senjatanya. Surabaya di gempur dengan tembakan-tembakan meriam dan kapal perang penghancur, disusul dengan bombardemen dan tembakan dari udara. Selain itu, ledakan senjata api terjadi terus menerus. Itulah alasan dari munculnya Tuhan baru. Senjata memberikan kekuatan yang mempu menciptakan kehancuran dan kematian sehingga sasaran senjatalah yang menjadi dan penentu hidup matinya pejuang dan masyarakat Surabaya pada saat itu. Melalui cerpen “Surabaya” karya idrus ini dapat kita lihat keadaan pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan di Surabaya dan realitas sosial yang terjadi pada masa itu, penggambaran yang dilakukan Idrus dengan gaya “sinis”nya dalam cerpen tersebut memiliki daya tarik terendiri untuk dibahas.



1.2  Latar Belakang
Seperti yang telah kita ketahui bahwa bangsa Jepang adalah bangsa terakhir menjajah sampai akhirnya Indonesia meraih kemerdekaan. Para sastrawan yang ada pada masa ini selain ikut berjuang dengan fisik dalam perang kemerdekaan, mereka juga menyibukkan diri untuk mencoba merumuskan dan mencari orientasi pada berbagai kemungkinan bangunan kebudayaan bagi Indonesia kedepan. Setelah merdeka Indonesia memasuki era revolusi, yakni masa pembaharuan baik dari segi pemerintahan, sosial, budaya dan kenegaraan. Hal ini juga memberi dampak pada sastrawan dan hasil karya sastra mereka pada saat itu. Sehingga angkatan 45 memiliki konsepsi estetik tersendiri.
Periode Angkatan 45 sendiri dimulai tahun 1942, tidak lama sesudah masuknya Jepang ke Indonesia. Periode ini merupakan pengalaman dan saat yang penting dalam sejarah bangsa dan juga sastra Indonesia. Pada masa ini, Jepang melarang penggunaan bahasa Belanda dan diganti dengan bahasa Melayu. Hal ini memberi dampak pada intesifikasi pada penggunaan bahasa Melayu (Indonesia) dan, tentu saja, mengintensifkan perkembangan kesusastraan Indonesia.
Sedangkan secara politik, Jepang mengumpulkan para seniman di Kantor Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Shidosho). Awalnya, banyak seniman yang dengan penuh semangat menerima panyatuan di bawah satu organisasi. Namun, bersama lalunya waktu, para seniman tersebut sadar bahwa mereka diperalat untuk kepantingan propaganda Jepang yang sedang berusaha menguasai seluruh Asia. Kesadaran tersebut muncul setelah mengetahui janji-janji kosong, kekejaman, dan penindasan yang dilakukan oleh Jepang.
Akan tetapi setelah Indonesia merdeka tidak serta merta semua permasalahan berakhir. Dampak dari kekalahan jepang dari sekutu pada perang dunia kedua membuat indonesia kembali ingin dikuasai sekutu. Namun kedatangan sekutu mendapat perlawanan dari masyarakat indonesia, tidak terkecuali di Surabaya seperti yang digambarkan oleh Idrus dalam prosanya yang berjudul “Surabaya”. Melalui cerpen tersebut dapat kita lihat keadaan yang terjadi pada masyarakat Surabaya serta perjuangannya mempertahankan kemerdekaan RI. Selain itu tidak adanya tokoh utama dalam cerpen tersebut juga menjadi keunikan yang akan kita bahas bersama realitas sosial yang terdapat dalam novel tersebut.


B.     Pembahasan
2.1 Sastra angkatan 45
a.    45 sebagai Nama Angkatan
Penamaan angkatan ini dengan nama Angkatan 45 didasarkan pada peristiwa politik, yaitu kemerdekaan Indonesia. Selain nama tersebut ada beberapa nama yang digunakan dengan maksud yang sama. Nama-nama tersebut antara lain Angkatan Kemerdekaan, Angkatan Pembebasan, Angkatan Perang, Angkatan Sesudah Perang, Angkatan Sesudah Pujangga Baru, Angkatan Chairil Anwar, dan Anggkatan Gelanggang.
Sebagai sebuah angkatan, Angkatan 45 adalah sebuah rentang waktu dalam kesusastraan Indonesia. Rentang waktu angkatan ini adalah antara 1942-1953. Periode ini dibagi menjadi dua, yaitu masa penjajahan Jepang dan masa sesudah penjajahan Jepang. Masa penjajahan Jepang antara 1942-1945 dan masa sesudah penjajahan Jepang antaara 1945-1953.
b.    Sastrawan-Sastrawan Angkatan 45
Para sastrawan Angkatan 45, tidak seperti angkatan sebelumnya, telah berkembang jumlahnya. Dengan demikian, dalam tulisan ini disampaikan yang tercatat dalam beberapa referensi dan akan dikembangkan pada saat yang lain ketika ada referensi baru yang dapat dijangkau. Berikut sastrawan-sastrawan Angkatan 45 yang tersusun alfabetis.
Beberapa sastrawan yang menjadi motor dan pelopor Angkatan 45, di antaranya sebagai berikut.

1.    Chairil Anwar
Lahir di Medan, 26 Juli 1922, dan meninggal di Jakarta, 28 April 1949. Chairil menguasai bahasa Inggris, bahasa Belanda, dan bahasa Jerman. Karya sastranya dipengaruhi oleh sastrawan dunia yang dia gandrungi, seperti Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff dan Edgar du Perron.
2.    Asrul Sani
Lahir di Sumatra Barat, 10 Juni 1926, dan meninggal di Jakarta, 11 Januari 2004. Kiprahnya sangat besar pada dunia film Indonesia. Banyak menerjemahkan karya sastrawan dunia seperti: Vercors, Antoine de St-Exupery, Ricard Boleslavsky, Yasunari Kawabata, Willem Elschot, Maria Dermount, Jean Paul Sartre, William Shakespeare, Rabindranath Tagore, dan Nicolai Gogol.
3.    Rivai Apin
Lahir di Padang Panjang pada 30 Agustus 1927, dan wafat di Jakarta, April 1995. Pernah menjadi redaktur Gema Suasana, Siasat, Zenith, dan Zaman Baru. Keterlibatannya dalam Lekra  menyebabkan dia ditahan dan baru dibebaskan tahun 1979.
4.    Idrus
Lahir di Padang, 21 September 1921, dan 18 Mei 1979. Sastrawan dunia yang ia sukai: Anton Chekov, Jaroslov Hask, Luigi Pirandello, dan Guy de Maupassant. Pada masa Lekra, Idrus memutuskan pindah ke Malaysia karena tekanan lembaga tersebut.
5.    Achdiat Karta Mihardja
Lahir di Jawa Barat, 6 Maret 1911, dan meninggal di Canberra, Australia, 8 Juli 2010. Kiprahnya guru Taman Siswa, redaktur Balai Pustaka, Kepala Jawatan Kebudayaan Perwakilan Jakarta Raya, dan dosen Fakultas Sastra UI.
6.     Trisno Sumardjo
Lahir 1916, dan meninggal 21 April 1969. Selain sebagai sastrawan, dikenal juga sebagai pelukis.
7.    Utuy Tatang Sontani
Lahir di Cianjur, 1 Mei 1920 , dan meninggal di Moskwa, 17 September 1979. Ia adalah utusan dalam Konferensi Pengarang Asia-Afrika di Tashkent, Uzbekistan, 1958. Utuy mengajar Bahasa dan Sastra Indonesia di Moskwa.



c. Karya sastra angkatang 45
Beberapa karya sastra yang dihasilkan angkatan 45, di antaranya adalah sebagai berikut.
Kerikil Tajam (Chairil Anwar, 1949)
Deru Campur Debu (Chairil Anwar, 1949)
Tiga Menguak Takdir (Asrul Sani, Rivai Apin dan Chairil Anwar, 1950)
Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (Idrus, 1948)
Atheis (Achdiat K. Mihardja, 1949)
Katahati dan Perbuatan (Trisno Sumardjo, 1952)
Suling (Utuy Tatang Sontani, 1948)
Tambera (Utuy Tatang Sontani, 1949)
Pelopor Angkatan 45 pada bidang puisi adalah Chairil Anwar, sedangkan pelopor Angkatan 45 pada bidang prosa adalah Idrus. Karya Idus yang terkenal adalah Corat-Coret di Bawah Tanah
pelopor Angkatan 45 (essai) karya H.B.Jassin, dan sebagainya
Karya Angkatan 45 memiliki kedekatan yang intim dengan realitas politik. Ini sangat berbeda dengan Angkatan Pujangga Baru yang cenderung romantik-idealistik. Lahir dalam lingkungan yang sangat keras dan memprihatinkan, karya sastra Angkatan 45 memiliki ciri sebagai berikut;
1.      terbuka,
2.      pengaruh unsur sastra asing lebih luas dibandingkan angkatan sebelumnya,
3.      bercorak isi realis dan naturalis, meninggalkan corak romantis,
4.      sastrawan periode ini terlihat menonjol individualismenya,
5.      dinamis dan kritis, berani menabrak pakem sastra yang mapan sebelumnya,
6.      penghematan kata dalam karya,
7.      lebih ekspresif dan spontan,
8.      terlihat sinisme dan sarkasme,
9.      didominasi puisi, sedangkan bentuk prosa tampak berkurang.


2.2 Realitas sosial dalam prosa “Surabaya” karya Idrus
a. Sinopsis cerpen “Surabaya”
Orang Indo-Belanda berani memasang bendera merah putih biru di hotel Yamato. Orang-orang Indonesia tercengang, tiba-tiba seorang pemuda naik keatas tiang bendera dan dirobeknya kain biru. Orang-orang Indo-Belanda menembaki orang-orang seperti cowboy yang memegang belati. Pertempuran di Surabaya membara, orang-orang harus menyerahkan senjatanya pada sekutu. Tetapi mereka tidak mau, akhirnya api membakar gedung-gedung dan jiwa bangsa Indonsia. Jalan-jalan diluar kota penuh dengan manusia, kebanyakan wanita, mereka berjalan sempoyongan.
b.      Realitas sosial
“Surabaya” adalah salah satu cerpen karya Abdullah Idrus yang dimuat dalam kumpulan cerpennya Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (1990). Cerpen tersebut berkisah tentang keadaan saat perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI dari tentara Sekutu di Surabaya yang juga dikenal dengan Pertempuran 10 November 1945. Keadaan yang digambarkan dalam cerpen tersebut seperti Pelarian-pelarian kehilangan rumah, mengungsi, dan menjadi gila; tentara berbambu runcing melawan tentara bersenjata baja; tentara RI adalah cowboy dan tentara Sekutu adalah bandit; pengeroyokan dan pembunuhan penghianat oleh orang-orang yang sudah sangat geram; dan sebagainya.
Idrus sendiri merupakan seorang prosais yang sering kali mengungkapkan “kegelisahannya” akan imperialisme lewat karya-karyanya dengan ungkapan kasar. Namun, itu tidak menandai bahwa Idrus adalah seorang yang kontrarevolusi. Caranya yang demikian justru menunjukkan seberapa bencinya Idrus terhadap imperialisme. Seperti kutipan yang dijadikan judul tulisan ini “Ya! Imperialisme dan penyakit sipilis! Hancurkan!” (Idrus, 1990: 151), imperialisme disetarakan dengan penyakit sipilis; keduanya harus dihancurkan. Gaya Idrus dalam mengungkapkan pemikirannya melalui prosa memang sangat unik, seperti yang dalam cerpen “Surabaya” yang melukiskan realitas sosial yang terjadi pada  masa mempertahankan kemerdekaan dari tangan sekutu.
Keunikan yang dapat kita temui selain realitas sosial yang ia gambarkan dalam cerpen “Surabaya” karya Idrus ini ialah tidak adanya tokoh utama yang menjadi sorotan dalam cerita dan tidak adanya dialog seperti kebanyakan prosa atau cerpen lainnya.. Roolvink (1953: 219) mengatakan bahwa karangan Idrus berjudul ”Surabaya” secara jelas terungkapkan tujuan dan cita-citanya. Keunikan karangan ini juga diungkapkan Roolvink: karangan ini bukan roman, bahkan bukan novel, sebab intrik, pelaku-pelaku hampir tidak terdapat di situ.
Ketika ia melihat keadaan rakyat Indonesia yang melarat dan begitu sengsara karena Jepang, tulisannya berubah. Tidak lagi romantik, melainkan melukiskan realitas kehidupan masa itu. Tentu tulisan-tulisannya tidak boleh dipublikasikan ketika masa Jepang, seperti ”Corat-Coret di Bawah Tanah” yang terkesan sinis dan kasar. Sikap sinis dan kasar ini diperlihatkan pula ketika ia menulis tentang para pejuang kemerdekaan menghadapi pasukan-pasukan Inggris dan Belanda yang mau menjajah lagi Indonesia dalam cerpen ”Surabaya”.
Dalam cerpen “Surabaya”, para pejuang kemerdekaan disebutnya ”koboi-koboi” dan tentara sekutu ”bandit-bandit”. Itu membuatnya dicap sebagai kontra revolusi. Alasan ia kontra revolusi diungkapkannya dalam kumpulan cerpen itu juga, berjudul ”Jalan Lain ke Roma”, yang berkisah tentang tokoh si Open. Rosidi (1991: 97) mengungkapkan bahwa cerpen tersebut merupakan penjelmaan si pengarang sendiri.
Persoalan yang diangkat dalam prosa ”Surabaya” adalah kejadian yang sungguh terjadi kala itu. Dia mengangkat kisah kehidupan sehari-hari. Bukan hanya sehari-hari, tapi juga ada momen besar saat itu di Surabaya, kemudian ia tuangkan dalam karya sastra. Peristiwa yang terjadi bulan-bulan akhir tahun 1945. Dapat dirasakan kesengsaraan penduduk Surabaya pascakemerdekaan karena sekutu dan Belanda yang hendak menduduki Indonesia kembali, juga penggambaran para pelarian dan pemuda-pemuda yang gigih mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Sebenarnya apa yang terjadi saat itu di Surabaya? Perhatikan kutipan paragraf kedua cerpen “Surabaya” berikut ini.
Waktu beberapa orang Belanda Indo berani menaikkan bendera merah putih biru di Hotel Yamato, orang-orang Indonesia tercengang-cengang. Orang-orang tercengang bertambah banyak dan bertambah lama bertambah mendekati hotel itu. Tiba-tiba melompat seorang pemuda ke depan. Dipanjatnya tiang bendera, dirobeknya kain biru dari bendera itu. Orang-orang tercengang bertepuk dan bersorak, tapi orang-orang Belanda Indo marah-marah. Bukan untuk dirobek mereka menaikkan bendera... (hlm. 119).
Kejadian tersebut sungguh terjadi pada tanggal 19 September 1945. Seperti yang terungkap di atas, peristiwa ini terjadi ketika orang Belanda yang tinggal di Hotel Yamato mengibarkan bendera Belanda. Tindakan ini menimbulkan kemarahan rakyat Surabaya dan menyerbu hotel. Mereka menurunkan bendera tersebut dan merobek warna birunya lalu mengibarkan kembali bendera merah putih.
Insiden Merah Putih di Hotel Yamato tersebut merupakan salah satu perjuangan bersenjara dan diplomasi dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Selain di Surabaya, daerah lainnya juga mengalami hal serupa seperti di Bandung, Medan, Manado, dan Biak. Semua itu terjadi karena pihak penjajah tidak sudi melihat Indonesia menjadi bangsa yang merdeka.
Setelah Perang Fasifik berakhir, semua wilayah kekuasaan Jepang berada di bawah pengawasan pasukan sekutu. Pasukan sekutu yang bertugas mengawasi Indonesia adalah Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI). Pasukan yang berintikan tentara Inggris itu dipimpin oleh Letjen Sir Philip Christison. Berikut tugas AFNEI.
  1. Mengurus penyerahan, pelucutan, dan pemulangan tentara Jepang.
  2. Membebaskan tawanan perang.
  3. Memulihkan keamanan dan ketertiban.
  4. Mencari dan mengadili para penjahat perang (Matroji, 2006 :44).
Tugas AFNEI tersebut juga terungkap dalam cerpen.
Sekutu hanya akan mengambil tawanan-tawanan perang dan orang-orang Jepang. Jantung Rakyat yang sebelah percaya kepada kata-kata pemimpin, tapi jantungnya yang sebelah lagi tetap mencurigai sekutu (hlm. 121).
Setelah tugasnya di Indonesia selesai, maka, status Indonesia dikembalikan kepada Netherlands-Indies Civil Administration (NICA). Tentu hal tersebut tidak sejalan dengan kemauan dan kepentingan Bangsa Indonesia, maka, pertempuran pun tidak terhindarkan.
Melalui cerpen Idrus, “Surabaya” tergambarkan bagaimana kekejaman penjajah terhadap rakyat Indonesia. Keadaan rakyat yang sangat menderita karena sekutu di Surabaya digambarkan sangat lugas dan sadis oleh Idrus dalam cerpen. Berikut adalah kutipan penggarambaran para perempuan yang sedang hamil dan harus melarikan diri, sampai-sampai mereka harus melahirkan di jalan.
Mereka merintih-rintih kesakitan di tepi jalan dan dalam hatinya mereka menyumpahi Tuhan. Tidak seorang pun dari mereka menghendaki anak pada waktu itu. Dengan perut-perut gendutnya mereka melarikan diri dari maut dan di tengah jalan perut-perut gendut itu tiba-tiba menjadi kempes dan terdengar teriakan bayi... (hlm.123).
Baik tua maupun muda semuanya menderit karena kekejaman Sekutu saat itu.Kita juga dapat mengetahu bagaimana perawatan terhadap rakyat sebagai pelarian dari tempat kejadian pertempuran. Dalam keadaan sulit seperti demikian, Idrus menggambarkan betapa satu sama lain tidak lagi saling menolong dan memperhatikan, seperti penggambarannya terhadap seorang perempuan yang kehilangan anaknya. Ketidakadilan yang diterima oleh para perempuan pelarian yang berada di tempat pengungsian juga digambarkan oleh Idrus. Pada bagian itu, ia mengungkapkan bahwa banyak perempuan-perempuan yang melupakan suaminya untuk melayani pengawal-pengawal bedeng. begitu Idrus menyebutnya agar diperlakukan baik oleh mereka. Penggambaran sinis Idrus terhadap perempuan pelarian yang diperlakukan berbeda dengan laki-laki pelarian terdapat dalam bahasa yang dipakainya dalam cerpen.
Dalam hatinya ia berkata, “Alangkah enaknya jadi perempuan dapat kesenangan dan makanan.” (hlm. 128).

Perempuan-perempuan itu semakin hari semakin liar. Mereka sering lupa dengan suaminya yang ditinggalkan bertempur di Surabaya dan pergi mengecap kesenangan dengan pengawal-pengawal ke tempat gelap. Gadis-gadis kehilangan benda berharganya di sini, tapi mereka tidak menyesal... (hlm.128).

Tapi akhirnya orang-orang bosan dan mual seperti perempuan jahat yang baru selesai dipakai (hlm. 129).

Dari beberapa kutipan di atas, sebetulnya terungkap betapa Idrus seorang laki-laki yang patriarkhi. Akan tetapi, untuk  membuktikan pernyataan tersebut perlu analisis lebih dalam lagi terhadap karya-karyanya. Pemakaian kata-kata untuk menggambarkan perempuan pelarian itu sangat sinis terasa. Padahal, jika dipikirkan dari sudut pandang perempuan: tidak mungkin perempuan rela menghianati suami mereka yang sedang bertempur melawan penjajah dengan enak-enakan melayani laki-laki lain, jika tidak dipaksa atau disiksa. Soal kekejaman sekutu terutama Jepang dalam memperlakukan perempuan agaknya bukan rahasia lagi yakni bahwa mereka sangat haus dan seringkali memperkosa para perempuan yang sudah menikah, maupun para gadis. Ketidakadilan terhadap perempuan juga diungkapkan Idrus.
Idrus membagi cerpen “Surabaya” ini menjadi 9 bagian. Pada bagian 8 saat hendak-hendak penghabisan, ia masuk ke dalam bagian leraian.  Jika dilihat dari segitiga Goestaf, cerpen Idrus termasuk di dalamnya: di bagian awal pemaparan, lalu di tengah klimaks berupa penjabaran berbagai penderitaan orang-orang Surabaya, dan terakhir leraian berupa kemenangan Indonesia atas sekutu. Idrus menutup cerpennya pada bagian 9 dengan menceritakan keadaan tentara Indonesia yang banyak menderita penyakit sipilis karena sekutu mengamburkan perempuan-perempuan jahat ke medan pertempuran (hlm. 150).
Dalam prosa “Surabaya” juga terdapat tendensi yang diemban karya sastra, secara keseluruhan memiliki nilai humanis yang memberikan kebebasan pada pembaca dalam mengambil pesan yang ada di dalamnya. Nilai pedagogis yang diemban dalam sebauh karya sastra lebih mengarah pada pendidikan moral, seperti yang termuat di dalamnya “… jika yang kuat tidak berjalan di atas keadilan, bagaimana pun juga kuatnya, ia akan diberi Tuhan kekalahan dan malapetaka.” (Surabaya, Idrus, Gema tanah Air 2, hlm. 44).
Pernyataan Idrus ini dapat dipandang sebagai gelora semangat yang dikelola sedemikian rupa untuk menciptakan generasi yang berani membela keadilan dan kebenaran. Untuk melawan kejahatan yang disimbolkan melalui pasukan Sekutu yang mendarat di Surabaya, Idrus menyatakan pada kita semua untuk berani karena Tuhan bersama orang yang benar, dan Tuhan membenci orang yang salah. Akantetapi, Idrus pun menjadi orang yang realistis, bahwa melawan kejahatan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Seperti kita lihat dalam: “… tapi jenderal-jenderal abad dua puluh berpendapat lain: mereka lebih percaya kepada meriam-meriamnya dari pada dogma-dogma khayal itu” (Surabaya, Idrus, Gema Tanah Air 2, hml. 44).
Tendensi di dalam karya sastra dapat digunakan untuk membangun paradigma berpikir masyarakat. Nilai humanistik untuk menyerahkan kebenaran hanya pada pembaca tersebut, Idrus menuangkan dalam dua pandangan berbeda. Yaitu mengenai mereka yang percaya pada keyakinan agama atau percaya pada kualitas teknologi manusia. Ini sisi humanisme sastra, tidak melakukan penghakiman atas benar atau salah, akan tetapi memberikan pendidikan dengan cara memberikan gambaran mengenai sesuatu yang nyata di antara berbagai pilihan kemudian menggambarkan keadaan idealisnya kehidupan.
Seperti yang di lakukan Idrus, ia menggambarkan idealisme serta realitas sosial yang terjadi dalam prosa “Surabaya” dengan Analogi-analogi seperti cowboy, bandit, dan tuhan baru yang diberikan Idrus membuka pemahaman bahwa semangat dan perjuangan tidak harus disampaikan dengan cara yang kaku karena sastra, walau mengandung sejarah, bukanlah sebuah data sejarah. Sastra adalah sebuah representasi realita yang berbaur dengan imajinasi. Jadi, hal-hal yang diungkapkan Idrus dalam cerpen ini tetap memiliki hakikat yang sama dengan realitas yang terjadi pada masa itu termasuk juga semangat kepahlawanan indonesia.
Semangat kepahlawanan Indonesia terasa sangat luar biasa karena hasil yang ada sekarang adalah tidak ada penjajahan di Indonesia. Melihat persenjataan Sekutu, rasanya mustahil untuk mencapai hasil tersebut. Bambu runcing. Senjata sederhana tersebut memiliki keampuhan yang luar biasa dalam usaha-usaha para pejuang. “keadaan tentara-tentara kita sangat menyedihkan. Mereka hanya dikatakan memiliki bambu-bambu runcing sebagai senjata. Tapi dengan bambu-bambu itu mereka menahan serta memukul mundur serangan-serangan musuh dan dengan itu mereka menyelamatkan kita semua di garis belakang” (Idrus, 1990: 50). Bambu runcing adalah simbol suatu semangat perjuangan.Indonesia saat itu memiliki dua sistem persejataan, yaitu sistem senjata tekologi dan sistem senjata sosial (Setiadijaya, 1991: 571). Bambu runcing sebagai sistem senjata sosial digunakan secara heroik dan patriotik oleh para pahlawan terdahulu sehingga mampu mengalahkan sistem persenjataan yang lebih modern, seperti yang diakui oleh bekas lawan-lawan bangsa ini.
Pada  masa pertempuran 10 November 1945 ini juga, terdapat sebuah semboyan yang terkenal dari Bung Tomo, “Selama banteng-banteng Indonesia masih berdarah merah, yang dapat membikin secarik kain putih menjadi merah dan putih, selama itu tidak akan suka kita membawa bendera putih untuk menyerah kepada siapa pun juga” (Kasdi dkk, 1986: 258). Semangat perjuangan yang tedapat dalam semboyan tersebut menunjukkan semangat perjuangan yang adat pada masanya: semangat membela negara sampai titik darah penghabisan. Semangat yang demikian adalah yang ingin disampaikan Idrus melalui cerpen “Surabaya” , seperti yang dilakukan semangat pemimpin-pemimpin tentara yang lebih memilih tinggal dan mati di Surabaya daripada harus menyerah (Idrus, 1990:137).
Sebagai sastrawan, Idrus dan rekan-rekannya dalam Angkatan 45 banyak berbicara mengenai kisah-kisah perjuangan. Romantisasi perjuangan yang dilakukan para sastrawan Angkatan 45 bermuara pada satu hal, yaitu anti imperialisme. Idrus dengan gayanya meromantisasikan perjuangan hampir serupa parodi. Dengan cowboy, bandit, dan lain-lain, Idrus seperti mentransformasikan sejarah dan semangat perjuangan Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya serta pengalaman hidup yang ia alami pada cerpennya.

C.    Penutup
Simpulan
Dari penjelasan di atas, kita dapat melihat betapa cerpen “Surabaya” ini merupakan cerminan masyarakat yang terjadi pada waktu itu. Kedatangan Sekutu yang diboncengi NICA pada saat itu ternyata bertujuan merebut Indonesia kembali. Pertempuran di sejumlah tempat dalam mempertahankan kedaulatan bangsa pun tak terhindarkan. Idrus adalah salah satu pengarang yang berhasil merekam peristiwa pertempuran di Surabaya itu. Keadaan masyarakat yang menderita karena ulah sekutu digambarkannya begitu detail. Tidak adanya tokoh utama dan alur cerita membuat cerpen ini menjadi menarik, bagai fragmen-fragmen yang mengisahkan perjalanan orang-orang Surabaya keluar dari penindasan penjajah saat itu. Melalui cerpen ini, hal-hal yang tidak diketahui pembaca dalam buku-buku sejarah, tergambarkan oleh Idrus dengan menarik.


D.    Daftar Pustaka
Idrus. 1990. Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma. Jakarta: Balai Pustaka.
Kasdi, dkk. 1986. Pertempuran 10 November 1945: Citra Kepahlawanan Bangsa Indonesia di Surabaya. Surabaya: Panitia Pelestarian Nilai-nilai Kepahlawanan 10 November 2010.

Rosidi. Ajip. 1991. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Binacipta.
Realitas Sosial dalam Prosa “Surabaya” karya Idrus
oleh: Bagus Afiansah


A.    Pendahuluan
1.1  Alasan pemilihan judul
Perjuangan masyarakat Surabaya dalam mempertahankan kemerdekaan dari serangan sekutu menjadi pembahasan serta fokus dari sebuah prosa berjudul “Surabaya karya Idrus. Dalam cerpen tersebut idrus menggambarkan keadaan sosial dan perjuangan masyarakat untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dari tentara sekutu di Surabaya yang dikenal dengan Pertempuran 10 November 1945. Keadaan yang digambarkan ialah pelarian-pelarian, kehilangan rumah, mengungsi, menjadi gila; tentara bambu runcing melawan tentara baja; tentara RI adalah cowboy dan tentara sekutu adalah bandit; pengeroyokan dan pembunuhan pengkhianat oleh orang-orang yang sudah geram, dan sebagainya.
Pertempuran 10 November 1945 yang cukup di soroti Idrus ialah mengenai persenjataan tentara sekutu yang dianalogikannya sebagai Tuhan yang baru. Kasdi (1986:256) dalam Pertempuran 10 November 1945 mendeskripsikan bahwa sekutu membuat Surabaya menjadi lautan api dengan senjata-senjatanya. Surabaya di gempur dengan tembakan-tembakan meriam dan kapal perang penghancur, disusul dengan bombardemen dan tembakan dari udara. Selain itu, ledakan senjata api terjadi terus menerus. Itulah alasan dari munculnya Tuhan baru. Senjata memberikan kekuatan yang mempu menciptakan kehancuran dan kematian sehingga sasaran senjatalah yang menjadi dan penentu hidup matinya pejuang dan masyarakat Surabaya pada saat itu. Melalui cerpen “Surabaya” karya idrus ini dapat kita lihat keadaan pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan di Surabaya dan realitas sosial yang terjadi pada masa itu, penggambaran yang dilakukan Idrus dengan gaya “sinis”nya dalam cerpen tersebut memiliki daya tarik terendiri untuk dibahas.



1.2  Latar Belakang
Seperti yang telah kita ketahui bahwa bangsa Jepang adalah bangsa terakhir menjajah sampai akhirnya Indonesia meraih kemerdekaan. Para sastrawan yang ada pada masa ini selain ikut berjuang dengan fisik dalam perang kemerdekaan, mereka juga menyibukkan diri untuk mencoba merumuskan dan mencari orientasi pada berbagai kemungkinan bangunan kebudayaan bagi Indonesia kedepan. Setelah merdeka Indonesia memasuki era revolusi, yakni masa pembaharuan baik dari segi pemerintahan, sosial, budaya dan kenegaraan. Hal ini juga memberi dampak pada sastrawan dan hasil karya sastra mereka pada saat itu. Sehingga angkatan 45 memiliki konsepsi estetik tersendiri.
Periode Angkatan 45 sendiri dimulai tahun 1942, tidak lama sesudah masuknya Jepang ke Indonesia. Periode ini merupakan pengalaman dan saat yang penting dalam sejarah bangsa dan juga sastra Indonesia. Pada masa ini, Jepang melarang penggunaan bahasa Belanda dan diganti dengan bahasa Melayu. Hal ini memberi dampak pada intesifikasi pada penggunaan bahasa Melayu (Indonesia) dan, tentu saja, mengintensifkan perkembangan kesusastraan Indonesia.
Sedangkan secara politik, Jepang mengumpulkan para seniman di Kantor Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Shidosho). Awalnya, banyak seniman yang dengan penuh semangat menerima panyatuan di bawah satu organisasi. Namun, bersama lalunya waktu, para seniman tersebut sadar bahwa mereka diperalat untuk kepantingan propaganda Jepang yang sedang berusaha menguasai seluruh Asia. Kesadaran tersebut muncul setelah mengetahui janji-janji kosong, kekejaman, dan penindasan yang dilakukan oleh Jepang.
Akan tetapi setelah Indonesia merdeka tidak serta merta semua permasalahan berakhir. Dampak dari kekalahan jepang dari sekutu pada perang dunia kedua membuat indonesia kembali ingin dikuasai sekutu. Namun kedatangan sekutu mendapat perlawanan dari masyarakat indonesia, tidak terkecuali di Surabaya seperti yang digambarkan oleh Idrus dalam prosanya yang berjudul “Surabaya”. Melalui cerpen tersebut dapat kita lihat keadaan yang terjadi pada masyarakat Surabaya serta perjuangannya mempertahankan kemerdekaan RI. Selain itu tidak adanya tokoh utama dalam cerpen tersebut juga menjadi keunikan yang akan kita bahas bersama realitas sosial yang terdapat dalam novel tersebut.


B.     Pembahasan
2.1 Sastra angkatan 45
a.    45 sebagai Nama Angkatan
Penamaan angkatan ini dengan nama Angkatan 45 didasarkan pada peristiwa politik, yaitu kemerdekaan Indonesia. Selain nama tersebut ada beberapa nama yang digunakan dengan maksud yang sama. Nama-nama tersebut antara lain Angkatan Kemerdekaan, Angkatan Pembebasan, Angkatan Perang, Angkatan Sesudah Perang, Angkatan Sesudah Pujangga Baru, Angkatan Chairil Anwar, dan Anggkatan Gelanggang.
Sebagai sebuah angkatan, Angkatan 45 adalah sebuah rentang waktu dalam kesusastraan Indonesia. Rentang waktu angkatan ini adalah antara 1942-1953. Periode ini dibagi menjadi dua, yaitu masa penjajahan Jepang dan masa sesudah penjajahan Jepang. Masa penjajahan Jepang antara 1942-1945 dan masa sesudah penjajahan Jepang antaara 1945-1953.
b.    Sastrawan-Sastrawan Angkatan 45
Para sastrawan Angkatan 45, tidak seperti angkatan sebelumnya, telah berkembang jumlahnya. Dengan demikian, dalam tulisan ini disampaikan yang tercatat dalam beberapa referensi dan akan dikembangkan pada saat yang lain ketika ada referensi baru yang dapat dijangkau. Berikut sastrawan-sastrawan Angkatan 45 yang tersusun alfabetis.
Beberapa sastrawan yang menjadi motor dan pelopor Angkatan 45, di antaranya sebagai berikut.

1.    Chairil Anwar
Lahir di Medan, 26 Juli 1922, dan meninggal di Jakarta, 28 April 1949. Chairil menguasai bahasa Inggris, bahasa Belanda, dan bahasa Jerman. Karya sastranya dipengaruhi oleh sastrawan dunia yang dia gandrungi, seperti Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff dan Edgar du Perron.
2.    Asrul Sani
Lahir di Sumatra Barat, 10 Juni 1926, dan meninggal di Jakarta, 11 Januari 2004. Kiprahnya sangat besar pada dunia film Indonesia. Banyak menerjemahkan karya sastrawan dunia seperti: Vercors, Antoine de St-Exupery, Ricard Boleslavsky, Yasunari Kawabata, Willem Elschot, Maria Dermount, Jean Paul Sartre, William Shakespeare, Rabindranath Tagore, dan Nicolai Gogol.
3.    Rivai Apin
Lahir di Padang Panjang pada 30 Agustus 1927, dan wafat di Jakarta, April 1995. Pernah menjadi redaktur Gema Suasana, Siasat, Zenith, dan Zaman Baru. Keterlibatannya dalam Lekra  menyebabkan dia ditahan dan baru dibebaskan tahun 1979.
4.    Idrus
Lahir di Padang, 21 September 1921, dan 18 Mei 1979. Sastrawan dunia yang ia sukai: Anton Chekov, Jaroslov Hask, Luigi Pirandello, dan Guy de Maupassant. Pada masa Lekra, Idrus memutuskan pindah ke Malaysia karena tekanan lembaga tersebut.
5.    Achdiat Karta Mihardja
Lahir di Jawa Barat, 6 Maret 1911, dan meninggal di Canberra, Australia, 8 Juli 2010. Kiprahnya guru Taman Siswa, redaktur Balai Pustaka, Kepala Jawatan Kebudayaan Perwakilan Jakarta Raya, dan dosen Fakultas Sastra UI.
6.     Trisno Sumardjo
Lahir 1916, dan meninggal 21 April 1969. Selain sebagai sastrawan, dikenal juga sebagai pelukis.
7.    Utuy Tatang Sontani
Lahir di Cianjur, 1 Mei 1920 , dan meninggal di Moskwa, 17 September 1979. Ia adalah utusan dalam Konferensi Pengarang Asia-Afrika di Tashkent, Uzbekistan, 1958. Utuy mengajar Bahasa dan Sastra Indonesia di Moskwa.



c. Karya sastra angkatang 45
Beberapa karya sastra yang dihasilkan angkatan 45, di antaranya adalah sebagai berikut.
Kerikil Tajam (Chairil Anwar, 1949)
Deru Campur Debu (Chairil Anwar, 1949)
Tiga Menguak Takdir (Asrul Sani, Rivai Apin dan Chairil Anwar, 1950)
Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (Idrus, 1948)
Atheis (Achdiat K. Mihardja, 1949)
Katahati dan Perbuatan (Trisno Sumardjo, 1952)
Suling (Utuy Tatang Sontani, 1948)
Tambera (Utuy Tatang Sontani, 1949)
Pelopor Angkatan 45 pada bidang puisi adalah Chairil Anwar, sedangkan pelopor Angkatan 45 pada bidang prosa adalah Idrus. Karya Idus yang terkenal adalah Corat-Coret di Bawah Tanah
pelopor Angkatan 45 (essai) karya H.B.Jassin, dan sebagainya
Karya Angkatan 45 memiliki kedekatan yang intim dengan realitas politik. Ini sangat berbeda dengan Angkatan Pujangga Baru yang cenderung romantik-idealistik. Lahir dalam lingkungan yang sangat keras dan memprihatinkan, karya sastra Angkatan 45 memiliki ciri sebagai berikut;
1.      terbuka,
2.      pengaruh unsur sastra asing lebih luas dibandingkan angkatan sebelumnya,
3.      bercorak isi realis dan naturalis, meninggalkan corak romantis,
4.      sastrawan periode ini terlihat menonjol individualismenya,
5.      dinamis dan kritis, berani menabrak pakem sastra yang mapan sebelumnya,
6.      penghematan kata dalam karya,
7.      lebih ekspresif dan spontan,
8.      terlihat sinisme dan sarkasme,
9.      didominasi puisi, sedangkan bentuk prosa tampak berkurang.


2.2 Realitas sosial dalam prosa “Surabaya” karya Idrus
a. Sinopsis cerpen “Surabaya”
Orang Indo-Belanda berani memasang bendera merah putih biru di hotel Yamato. Orang-orang Indonesia tercengang, tiba-tiba seorang pemuda naik keatas tiang bendera dan dirobeknya kain biru. Orang-orang Indo-Belanda menembaki orang-orang seperti cowboy yang memegang belati. Pertempuran di Surabaya membara, orang-orang harus menyerahkan senjatanya pada sekutu. Tetapi mereka tidak mau, akhirnya api membakar gedung-gedung dan jiwa bangsa Indonsia. Jalan-jalan diluar kota penuh dengan manusia, kebanyakan wanita, mereka berjalan sempoyongan.
b.      Realitas sosial
“Surabaya” adalah salah satu cerpen karya Abdullah Idrus yang dimuat dalam kumpulan cerpennya Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (1990). Cerpen tersebut berkisah tentang keadaan saat perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI dari tentara Sekutu di Surabaya yang juga dikenal dengan Pertempuran 10 November 1945. Keadaan yang digambarkan dalam cerpen tersebut seperti Pelarian-pelarian kehilangan rumah, mengungsi, dan menjadi gila; tentara berbambu runcing melawan tentara bersenjata baja; tentara RI adalah cowboy dan tentara Sekutu adalah bandit; pengeroyokan dan pembunuhan penghianat oleh orang-orang yang sudah sangat geram; dan sebagainya.
Idrus sendiri merupakan seorang prosais yang sering kali mengungkapkan “kegelisahannya” akan imperialisme lewat karya-karyanya dengan ungkapan kasar. Namun, itu tidak menandai bahwa Idrus adalah seorang yang kontrarevolusi. Caranya yang demikian justru menunjukkan seberapa bencinya Idrus terhadap imperialisme. Seperti kutipan yang dijadikan judul tulisan ini “Ya! Imperialisme dan penyakit sipilis! Hancurkan!” (Idrus, 1990: 151), imperialisme disetarakan dengan penyakit sipilis; keduanya harus dihancurkan. Gaya Idrus dalam mengungkapkan pemikirannya melalui prosa memang sangat unik, seperti yang dalam cerpen “Surabaya” yang melukiskan realitas sosial yang terjadi pada  masa mempertahankan kemerdekaan dari tangan sekutu.
Keunikan yang dapat kita temui selain realitas sosial yang ia gambarkan dalam cerpen “Surabaya” karya Idrus ini ialah tidak adanya tokoh utama yang menjadi sorotan dalam cerita dan tidak adanya dialog seperti kebanyakan prosa atau cerpen lainnya.. Roolvink (1953: 219) mengatakan bahwa karangan Idrus berjudul ”Surabaya” secara jelas terungkapkan tujuan dan cita-citanya. Keunikan karangan ini juga diungkapkan Roolvink: karangan ini bukan roman, bahkan bukan novel, sebab intrik, pelaku-pelaku hampir tidak terdapat di situ.
Ketika ia melihat keadaan rakyat Indonesia yang melarat dan begitu sengsara karena Jepang, tulisannya berubah. Tidak lagi romantik, melainkan melukiskan realitas kehidupan masa itu. Tentu tulisan-tulisannya tidak boleh dipublikasikan ketika masa Jepang, seperti ”Corat-Coret di Bawah Tanah” yang terkesan sinis dan kasar. Sikap sinis dan kasar ini diperlihatkan pula ketika ia menulis tentang para pejuang kemerdekaan menghadapi pasukan-pasukan Inggris dan Belanda yang mau menjajah lagi Indonesia dalam cerpen ”Surabaya”.
Dalam cerpen “Surabaya”, para pejuang kemerdekaan disebutnya ”koboi-koboi” dan tentara sekutu ”bandit-bandit”. Itu membuatnya dicap sebagai kontra revolusi. Alasan ia kontra revolusi diungkapkannya dalam kumpulan cerpen itu juga, berjudul ”Jalan Lain ke Roma”, yang berkisah tentang tokoh si Open. Rosidi (1991: 97) mengungkapkan bahwa cerpen tersebut merupakan penjelmaan si pengarang sendiri.
Persoalan yang diangkat dalam prosa ”Surabaya” adalah kejadian yang sungguh terjadi kala itu. Dia mengangkat kisah kehidupan sehari-hari. Bukan hanya sehari-hari, tapi juga ada momen besar saat itu di Surabaya, kemudian ia tuangkan dalam karya sastra. Peristiwa yang terjadi bulan-bulan akhir tahun 1945. Dapat dirasakan kesengsaraan penduduk Surabaya pascakemerdekaan karena sekutu dan Belanda yang hendak menduduki Indonesia kembali, juga penggambaran para pelarian dan pemuda-pemuda yang gigih mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Sebenarnya apa yang terjadi saat itu di Surabaya? Perhatikan kutipan paragraf kedua cerpen “Surabaya” berikut ini.
Waktu beberapa orang Belanda Indo berani menaikkan bendera merah putih biru di Hotel Yamato, orang-orang Indonesia tercengang-cengang. Orang-orang tercengang bertambah banyak dan bertambah lama bertambah mendekati hotel itu. Tiba-tiba melompat seorang pemuda ke depan. Dipanjatnya tiang bendera, dirobeknya kain biru dari bendera itu. Orang-orang tercengang bertepuk dan bersorak, tapi orang-orang Belanda Indo marah-marah. Bukan untuk dirobek mereka menaikkan bendera... (hlm. 119).
Kejadian tersebut sungguh terjadi pada tanggal 19 September 1945. Seperti yang terungkap di atas, peristiwa ini terjadi ketika orang Belanda yang tinggal di Hotel Yamato mengibarkan bendera Belanda. Tindakan ini menimbulkan kemarahan rakyat Surabaya dan menyerbu hotel. Mereka menurunkan bendera tersebut dan merobek warna birunya lalu mengibarkan kembali bendera merah putih.
Insiden Merah Putih di Hotel Yamato tersebut merupakan salah satu perjuangan bersenjara dan diplomasi dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Selain di Surabaya, daerah lainnya juga mengalami hal serupa seperti di Bandung, Medan, Manado, dan Biak. Semua itu terjadi karena pihak penjajah tidak sudi melihat Indonesia menjadi bangsa yang merdeka.
Setelah Perang Fasifik berakhir, semua wilayah kekuasaan Jepang berada di bawah pengawasan pasukan sekutu. Pasukan sekutu yang bertugas mengawasi Indonesia adalah Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI). Pasukan yang berintikan tentara Inggris itu dipimpin oleh Letjen Sir Philip Christison. Berikut tugas AFNEI.
  1. Mengurus penyerahan, pelucutan, dan pemulangan tentara Jepang.
  2. Membebaskan tawanan perang.
  3. Memulihkan keamanan dan ketertiban.
  4. Mencari dan mengadili para penjahat perang (Matroji, 2006 :44).
Tugas AFNEI tersebut juga terungkap dalam cerpen.
Sekutu hanya akan mengambil tawanan-tawanan perang dan orang-orang Jepang. Jantung Rakyat yang sebelah percaya kepada kata-kata pemimpin, tapi jantungnya yang sebelah lagi tetap mencurigai sekutu (hlm. 121).
Setelah tugasnya di Indonesia selesai, maka, status Indonesia dikembalikan kepada Netherlands-Indies Civil Administration (NICA). Tentu hal tersebut tidak sejalan dengan kemauan dan kepentingan Bangsa Indonesia, maka, pertempuran pun tidak terhindarkan.
Melalui cerpen Idrus, “Surabaya” tergambarkan bagaimana kekejaman penjajah terhadap rakyat Indonesia. Keadaan rakyat yang sangat menderita karena sekutu di Surabaya digambarkan sangat lugas dan sadis oleh Idrus dalam cerpen. Berikut adalah kutipan penggarambaran para perempuan yang sedang hamil dan harus melarikan diri, sampai-sampai mereka harus melahirkan di jalan.
Mereka merintih-rintih kesakitan di tepi jalan dan dalam hatinya mereka menyumpahi Tuhan. Tidak seorang pun dari mereka menghendaki anak pada waktu itu. Dengan perut-perut gendutnya mereka melarikan diri dari maut dan di tengah jalan perut-perut gendut itu tiba-tiba menjadi kempes dan terdengar teriakan bayi... (hlm.123).
Baik tua maupun muda semuanya menderit karena kekejaman Sekutu saat itu.Kita juga dapat mengetahu bagaimana perawatan terhadap rakyat sebagai pelarian dari tempat kejadian pertempuran. Dalam keadaan sulit seperti demikian, Idrus menggambarkan betapa satu sama lain tidak lagi saling menolong dan memperhatikan, seperti penggambarannya terhadap seorang perempuan yang kehilangan anaknya. Ketidakadilan yang diterima oleh para perempuan pelarian yang berada di tempat pengungsian juga digambarkan oleh Idrus. Pada bagian itu, ia mengungkapkan bahwa banyak perempuan-perempuan yang melupakan suaminya untuk melayani pengawal-pengawal bedeng. begitu Idrus menyebutnya agar diperlakukan baik oleh mereka. Penggambaran sinis Idrus terhadap perempuan pelarian yang diperlakukan berbeda dengan laki-laki pelarian terdapat dalam bahasa yang dipakainya dalam cerpen.
Dalam hatinya ia berkata, “Alangkah enaknya jadi perempuan dapat kesenangan dan makanan.” (hlm. 128).

Perempuan-perempuan itu semakin hari semakin liar. Mereka sering lupa dengan suaminya yang ditinggalkan bertempur di Surabaya dan pergi mengecap kesenangan dengan pengawal-pengawal ke tempat gelap. Gadis-gadis kehilangan benda berharganya di sini, tapi mereka tidak menyesal... (hlm.128).

Tapi akhirnya orang-orang bosan dan mual seperti perempuan jahat yang baru selesai dipakai (hlm. 129).

Dari beberapa kutipan di atas, sebetulnya terungkap betapa Idrus seorang laki-laki yang patriarkhi. Akan tetapi, untuk  membuktikan pernyataan tersebut perlu analisis lebih dalam lagi terhadap karya-karyanya. Pemakaian kata-kata untuk menggambarkan perempuan pelarian itu sangat sinis terasa. Padahal, jika dipikirkan dari sudut pandang perempuan: tidak mungkin perempuan rela menghianati suami mereka yang sedang bertempur melawan penjajah dengan enak-enakan melayani laki-laki lain, jika tidak dipaksa atau disiksa. Soal kekejaman sekutu terutama Jepang dalam memperlakukan perempuan agaknya bukan rahasia lagi yakni bahwa mereka sangat haus dan seringkali memperkosa para perempuan yang sudah menikah, maupun para gadis. Ketidakadilan terhadap perempuan juga diungkapkan Idrus.
Idrus membagi cerpen “Surabaya” ini menjadi 9 bagian. Pada bagian 8 saat hendak-hendak penghabisan, ia masuk ke dalam bagian leraian.  Jika dilihat dari segitiga Goestaf, cerpen Idrus termasuk di dalamnya: di bagian awal pemaparan, lalu di tengah klimaks berupa penjabaran berbagai penderitaan orang-orang Surabaya, dan terakhir leraian berupa kemenangan Indonesia atas sekutu. Idrus menutup cerpennya pada bagian 9 dengan menceritakan keadaan tentara Indonesia yang banyak menderita penyakit sipilis karena sekutu mengamburkan perempuan-perempuan jahat ke medan pertempuran (hlm. 150).
Dalam prosa “Surabaya” juga terdapat tendensi yang diemban karya sastra, secara keseluruhan memiliki nilai humanis yang memberikan kebebasan pada pembaca dalam mengambil pesan yang ada di dalamnya. Nilai pedagogis yang diemban dalam sebauh karya sastra lebih mengarah pada pendidikan moral, seperti yang termuat di dalamnya “… jika yang kuat tidak berjalan di atas keadilan, bagaimana pun juga kuatnya, ia akan diberi Tuhan kekalahan dan malapetaka.” (Surabaya, Idrus, Gema tanah Air 2, hlm. 44).
Pernyataan Idrus ini dapat dipandang sebagai gelora semangat yang dikelola sedemikian rupa untuk menciptakan generasi yang berani membela keadilan dan kebenaran. Untuk melawan kejahatan yang disimbolkan melalui pasukan Sekutu yang mendarat di Surabaya, Idrus menyatakan pada kita semua untuk berani karena Tuhan bersama orang yang benar, dan Tuhan membenci orang yang salah. Akantetapi, Idrus pun menjadi orang yang realistis, bahwa melawan kejahatan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Seperti kita lihat dalam: “… tapi jenderal-jenderal abad dua puluh berpendapat lain: mereka lebih percaya kepada meriam-meriamnya dari pada dogma-dogma khayal itu” (Surabaya, Idrus, Gema Tanah Air 2, hml. 44).
Tendensi di dalam karya sastra dapat digunakan untuk membangun paradigma berpikir masyarakat. Nilai humanistik untuk menyerahkan kebenaran hanya pada pembaca tersebut, Idrus menuangkan dalam dua pandangan berbeda. Yaitu mengenai mereka yang percaya pada keyakinan agama atau percaya pada kualitas teknologi manusia. Ini sisi humanisme sastra, tidak melakukan penghakiman atas benar atau salah, akan tetapi memberikan pendidikan dengan cara memberikan gambaran mengenai sesuatu yang nyata di antara berbagai pilihan kemudian menggambarkan keadaan idealisnya kehidupan.
Seperti yang di lakukan Idrus, ia menggambarkan idealisme serta realitas sosial yang terjadi dalam prosa “Surabaya” dengan Analogi-analogi seperti cowboy, bandit, dan tuhan baru yang diberikan Idrus membuka pemahaman bahwa semangat dan perjuangan tidak harus disampaikan dengan cara yang kaku karena sastra, walau mengandung sejarah, bukanlah sebuah data sejarah. Sastra adalah sebuah representasi realita yang berbaur dengan imajinasi. Jadi, hal-hal yang diungkapkan Idrus dalam cerpen ini tetap memiliki hakikat yang sama dengan realitas yang terjadi pada masa itu termasuk juga semangat kepahlawanan indonesia.
Semangat kepahlawanan Indonesia terasa sangat luar biasa karena hasil yang ada sekarang adalah tidak ada penjajahan di Indonesia. Melihat persenjataan Sekutu, rasanya mustahil untuk mencapai hasil tersebut. Bambu runcing. Senjata sederhana tersebut memiliki keampuhan yang luar biasa dalam usaha-usaha para pejuang. “keadaan tentara-tentara kita sangat menyedihkan. Mereka hanya dikatakan memiliki bambu-bambu runcing sebagai senjata. Tapi dengan bambu-bambu itu mereka menahan serta memukul mundur serangan-serangan musuh dan dengan itu mereka menyelamatkan kita semua di garis belakang” (Idrus, 1990: 50). Bambu runcing adalah simbol suatu semangat perjuangan.Indonesia saat itu memiliki dua sistem persejataan, yaitu sistem senjata tekologi dan sistem senjata sosial (Setiadijaya, 1991: 571). Bambu runcing sebagai sistem senjata sosial digunakan secara heroik dan patriotik oleh para pahlawan terdahulu sehingga mampu mengalahkan sistem persenjataan yang lebih modern, seperti yang diakui oleh bekas lawan-lawan bangsa ini.
Pada  masa pertempuran 10 November 1945 ini juga, terdapat sebuah semboyan yang terkenal dari Bung Tomo, “Selama banteng-banteng Indonesia masih berdarah merah, yang dapat membikin secarik kain putih menjadi merah dan putih, selama itu tidak akan suka kita membawa bendera putih untuk menyerah kepada siapa pun juga” (Kasdi dkk, 1986: 258). Semangat perjuangan yang tedapat dalam semboyan tersebut menunjukkan semangat perjuangan yang adat pada masanya: semangat membela negara sampai titik darah penghabisan. Semangat yang demikian adalah yang ingin disampaikan Idrus melalui cerpen “Surabaya” , seperti yang dilakukan semangat pemimpin-pemimpin tentara yang lebih memilih tinggal dan mati di Surabaya daripada harus menyerah (Idrus, 1990:137).
Sebagai sastrawan, Idrus dan rekan-rekannya dalam Angkatan 45 banyak berbicara mengenai kisah-kisah perjuangan. Romantisasi perjuangan yang dilakukan para sastrawan Angkatan 45 bermuara pada satu hal, yaitu anti imperialisme. Idrus dengan gayanya meromantisasikan perjuangan hampir serupa parodi. Dengan cowboy, bandit, dan lain-lain, Idrus seperti mentransformasikan sejarah dan semangat perjuangan Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya serta pengalaman hidup yang ia alami pada cerpennya.

C.    Penutup
Simpulan
Dari penjelasan di atas, kita dapat melihat betapa cerpen “Surabaya” ini merupakan cerminan masyarakat yang terjadi pada waktu itu. Kedatangan Sekutu yang diboncengi NICA pada saat itu ternyata bertujuan merebut Indonesia kembali. Pertempuran di sejumlah tempat dalam mempertahankan kedaulatan bangsa pun tak terhindarkan. Idrus adalah salah satu pengarang yang berhasil merekam peristiwa pertempuran di Surabaya itu. Keadaan masyarakat yang menderita karena ulah sekutu digambarkannya begitu detail. Tidak adanya tokoh utama dan alur cerita membuat cerpen ini menjadi menarik, bagai fragmen-fragmen yang mengisahkan perjalanan orang-orang Surabaya keluar dari penindasan penjajah saat itu. Melalui cerpen ini, hal-hal yang tidak diketahui pembaca dalam buku-buku sejarah, tergambarkan oleh Idrus dengan menarik.


D.    Daftar Pustaka
Idrus. 1990. Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma. Jakarta: Balai Pustaka.
Kasdi, dkk. 1986. Pertempuran 10 November 1945: Citra Kepahlawanan Bangsa Indonesia di Surabaya. Surabaya: Panitia Pelestarian Nilai-nilai Kepahlawanan 10 November 2010.

Rosidi. Ajip. 1991. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Binacipta.