OTONG Asmara mati di hari pemilihan umum. Dia mati karena
kecelakaan motor pada jam 10 malam, beberapa jam setelah semua TPS selesai
melakukan penghitungan suara. Saat itu dia sedang berkonvoi penuh kemenangan
menuju kampungnya bersama tim sukses. Otong mati karena motor yang
dikendarainya ditabrak truk yang dikendarai oleh sopir yang sedang mabuk.
Otong saat itu diliputi kegembiraan yang luar biasa. Hasil
perhitungan yang dilakukannya menunjukkan dia berhasil mendapat jumlah suara
yang melebihi angka Bilangan Pembagi Pemilih (BPP).
Hasil pantauan yang dilaporkan semua tim suksesnya, suara
sah di Dapil 4 mencapai 29.376 suara. Dengan jumah 4 kursi yang diperebutkan,
maka jika ada caleg yang meraih suara minimal 7.344 suara, dia sudah pasti
lolos sebagai anggota DRPD Kabupaten Moro Seneng. Otong luar biasa senang
setelah perhitungan yang dilakukannya menyebut dia mendapat 9.426 suara.
Artinya, suara yang dia dapat 2.082 lebih banyak dari yang disyaratkan. Jika
pun ada meleset-melesetnya dalam penghitungan resmi nanti, Otong yakin raihan
suaranya tidak ada di bawah BPP yaitu 7.344.
Maka Otong mengajak semua anak buah dan tim suksesnya untuk
melakukan konvoi kemenangan sembari pulang ke rumah. Dia ingin memberi surprise
kepada Denok Sawitri, istrinya. Dalam perjalanan itulah Otong mati tertabrak.
Jam 23.40, Denok tiba di kamar mayat RSUD Moro Seneng.
Diselingi tiga kali pingsan, satu jam lamanya Denok memeluk tubuh Otong sembari
menangis, menjerit, meratap, lalu menangis, menjerit, dan meratap lagi.
***
Beberapa saat sebelum jenazah Otong dikubur, Kyai Husain
bertanya kepada para pelayat: ”Almarhum orang baik?” Para pelayat serempak
menjawab: baik. Dua kali lagi Kyai Husain menanyakan hal yang sama dan
direspons dengan jawaban yang kurang lebih sama.
Denok tidak ikut mengantarkan suaminya ke pemakaman. Tapi
Denok tahu Kyai Husain akan menanyakan hal itu dan hampir bisa dipastikan tidak
akan ada pelayat dengan kata buruk-buruk. Denok tahu itu kebiasaan di daerah
Kabupaten Moro Seneng. Tapi Denok juga paham: jawaban yang serbabaik itu tak
ada urusannya dengan segala hutang piutang yang harus dibayarkan.
Sampai hari ketiga, belum ada seorang pun yang menagih apa
pun. Pada hari keempat, seorang koordinator saksi datang menagih sisa honor
yang terlanjur dia talangi dengan uangnya. Denok mengeluarkan uang 1 juta dari
total 3 juta yang diminta. Uang itu tabungan yang masih tersisa. Pada hari
kelima, ada dua orang yang menagih lagi. Pada hari ketujuh, ada empat orang
yang menagih.
Pada hari ke-10, surat pemberitahuan pembayaran cicilan
rumah dari bank datang. Surat itu memberitahukan Otong sudah tidak membayar
tiga bulan berturut-turut. Denok tahu, suaminya menggadaikan rumahnya untuk
biaya serangan fajar pada tengah malam menjelang pemilihan, juga untuk tetek-bengek
kampanye lainnya.
***
Otong Asmara adalah “juragan rongsok”, istilah untuk
pengepul barang-barnag rongsokan kelas kakap. Sudah 10 tahun Otong menggeluti
bisnis barang rongsokan ini. Satu tahun belajar, dua tahun mulai melebarkan
jaringan, pada tahun kelima Otong sudah menjadi orang kaya raya di kampungnya.
Sebagai juragan, Otong bukan orang pelit. Dia tak pernah
absen membayar zakat, infak, shodaqoh, dan lain-lain. Di tahun ketujuh sebagai
juragan rongsok, Otong bahkan membeli sebuah mobil bekas yang digunakan sebagai
ambulans gratis. Di tahun kedelapan, Otong membeli sebuah mobil bekas lagi juga
untuk ambulans. Masyarakat di kampung tempat tinggal Otong, juga di dua
kecamatan yang masuk Dapil 4, bisa secara bebas menggunakan ambulans milik
Otong itu jika ada keluarganya yang sakit atau meninggal. Bensin dan sopir
sudah disediakan Otong.
Di tahun kesembilan, Otong mendirikan yayasan pendidikan
yang menaungi sebuah SMK Teknik yang dibayangkannya sebagai sekolah untuk
orang-orang miskin di Kecamatan Sumber Waras dan Kecamatan Sumber Rezeki. Itu
menjadi SMK pertama di dua kecamatan tersebut. Memang, dua kecamatan itu berada
di sudut terpencil Kabupaten Moro Seneng. Menurut laporan BPS Kabupaten Moro
Seneng, dua kecamatan itu adalah dua kecamatan termiskin.
Di tahun ke-10, Ketua DPC PPDK Kabupaten Moro Seneng melamar
Otong untuk menjadi caleg. Mulanya Otong menolak. Iming-iming uang yang bisa
didapat dengan menjadi anggota DPRD tak terlalu menarik minatnya. Iming-iming
proyek yang bisa dikerjakan Otong juga tak membuatnya goyah.
Bujuk rayu yang akhirnya bisa membuat Otong luluh justru
kata-kata bahwa dengan menjadi anggota DPRD Otong bisa membangun banyak
sekolahan seperti yang sudah dilakukannya dengan SMK Teknik. Jika suaranya
melebihi syarat minimal, Otong dijanjikan akan menjadi ketua fraksi dan minimal
menjadi wakil komisi yang membawahi bidang pendidikan.
Otong yang pada dasarnya baik ini terbujuk. Dia mengabaikan
saran dan nasehat istrinya. Otong bersikukuh sebagai anak lulusan SMP, dia tahu
susahnya jika berpendidikan rendah. Otong ingin anak-anak di wilayahnya tidak
mengalami kesusahan yang pernah dirasakannya. Sungguh baik dan mulia, bukan?
Yang tidak dipahami Denok adalah kenapa untuk urusan politik
macam itu Otong harus habis-habisan dan jor-joran? Otong pernah mengata-ngatai
Denok hanya karena istrinya itu mengatakan bahwa untuk menolong banyak orang
tak harus masuk politik, cukup jadi pengusaha yang giat, nanti keuntungan bisa
dipakai untuk membantu orang yang susah.
Otong memaki Denok dengan kata-kata kasar: ”Kau itu lulusan
SD, tahu apa dengan politik. Kalau tidak masuk politik, mau bantu orang juga
harus bayar. Kau pikir waktu aku bikin yayasan pendidikan itu tidak bayar? Dari
notaris sampai dinas pendidikan, semua harus disuap.“
Denok hanya bisa menangis mendengar makian itu. Otong sudah
berubah terlalu banyak. Denok menangis sambil mengelus-elus perutnya yang
sedang hamil 7 bulan.
Saat Otong mati, anak mereka berdua sudah berusia 2,5 bulan.
Saat anaknya tepat berusia 3,5 bulan, Denok mendengar Otong sudah resmi
terpilih sebagai anggota DPRD. Di Dapil 4, caleg dari PPDK hanya Otong yang
lolos. Tapi karena Otong sudah almarhum, kursinya diserahkan kepda rekan
separtainya, yang suaranya tidak mencukupi. Orang yang beruntung itu adalah ketua
DPC PPDK, orang yang gigih membujuk Otong untuk mau menjadi caleg. Namanya Pak
Sugeng.
***
Denok mencoba melanjutkan bisnis rongsokan suaminya. Tapi
perkembangannya sangat lambat dan dari hari ke hari justru makin merosot. Pada
pemulung yang biasanya setor barang, satu per satu pergi. Mau bagaimana lagi,
modal sudah habis terkuras. Denok tak bisa lagi membayar tunai para pemulung
yang menyetorkan barang. Para pemulung yang sebelumnya sangat setia pada Otong,
karena alasan yang sangat bisa dipahami, akhirnya lari ke juragan rongsok
saingan Otong.
Beruntung tunggakan-tunggakan terkait kampanye dan pemilu
sudah beres, semata karena tampaknya orang-orang kasihan kepada Denok. Hanya
saja, tidak ada lagi uang untuk membayar cicilan rumah yang digadaikan ke bank.
Tidak ada lagi uang untuk modal memutar bisnis barang rongsokan.
Denok tenggelam dalam kesulitan nyaris sendirian. Kedua
orang tuanya dan kerabat-kerabatnya juga tak bisa membantu, karena Denok pada
dasarnya datang dari keluarga yang miskin. Kedua mertuanya juga tak bisa
membantu, lebih tepatnya enggan membantu. Sisa uang yang pernah diberikan Otong
pada orang tuanya, mereka jaga baik-baik, mereka simpan baik-baik, terutama
untuk biaya naik haji.
Suatu hari, Haji Affandi, caleg PPDK tingkat provinsi yang
sering bekerja sama dengan Otong semasa kampanye, termasuk berbagi baliho dan
spanduk, datang menjenguk Denok. Dia menyampaikan belasungkawa dan
keprihatinan. Dia juga memberi Denok uang sebesar 3,5 juta.
Sebelum pulang, Haji Affandi bilang: ”Coba datang ke Pak
Sugeng, minta pengertian dia. Sudah biasa caleg yang jadi menghargai
caleg-caleg lainnya yang juga berhasil mengumpulkan suara tapi gagal jadi
caleg. Kalau Pak Otong masih hidup, toh Pak Sugeng tidak akan jadi anggota
DPRD.”
Tepat setelah Haji Affandi pergi, pegawai bank datang
memberi surat peringatan soal keterlambatan membayar cicilan. ”Kalau ibu tidak
bisa membayar, terpaksa rumah kami sita untuk dilelang.”
Malamnya, Denok melakukan salat tahajud. Di akhir shalatnya,
dia berdoa: Tuhan, berikanlah hamba suara-Mu, kepadaku.*)
***
Esoknya, seminggu sebelum pelantikan anggota DPRD Kabupaten
Moro Seneng, Denok pergi ke rumah Pak Sugeng, ketua DPC PPDK, orang yang dulu
gigih membujuk Otong agar mau menjadi caleg. Denok datang sendirian. Anaknya dia
titipkan pada ibunya yang sejak Otong meninggal selalu mendampingi Denok.
Sambil terisak, dan itu isak yang tak dibuat-buat, Denok
menyampaikan persoalan keuangan yang dihadapinya. Denok juga menyebutkan kalau
kedatangannya atas saran Haji Affandi. ”Tolong, Pak. Pinjami saya uang. Untuk
membayar cicilan rumah dan modal usaha barang rongsokan. Tidak banyak. Kalau
ada, saya mau pinjam 35 juta saja. Nanti pelan-pelan saya cicil bayarnya,” kata
Denok.
Pak Sugeng tidak mengiyakan tapi tidak juga menolak. Dia
mengaku prihatin dan meminta maaf karena tidak sempat melayat saat Otong
dikebumikan. Yang bisa dijanjikan Pak Sugeng adalah dia akan memimpin rapat
partai dulu untuk menyikapi situasi yang dihadapi Denok.
”Mbak Denok tidak usah khawatir. Mbak Denok kan rakyat, saya
juga wakil rakyat. Jadi masalah Mbak Denok juga masalah saya. Suara rakyat
seperti Mbak Denok juga masalah saya. Suara rakyat seperti Mbak Denok, kan
suara Tuhan,” kata Pak Sugeng sambil tersenyum.
Denok sumringah. Baru semalam dia berdoa, ”Tuhan berikanlah
suara-Mu, kepadaku, ealah… Pak Sugeng malah sudah menganggapnya sebagai suara
Tuhan. Ini pertanda bagus. Tuhan mendengar doa saya, kata Denok dalam hati.
Seminggu setelah itu, Denok kembali datang ke rumah Pak
Sugeng. Dilihatnya Pak Sugeng sudah mengenakan baju safari. Gagah betul dia,
pikir Denok. Kalau Otong masih hidup pasti akan segagah itu juga, begitu Denok
berkhayal.
Tapi Pak Sugeng meminta maaf karena belum ada keputusan
partai terkait situasi yang dihadapi Denok. ”Kita masih sibuk konsolidasi
terkait pekerjaan baru di DPRD,“ kata Pak Sugeng. ”Dua minggu lagi datang, ya.“
Dua minggu kurang beberapa hari yang dijanjikan Pak Sugeng,
Denok kedatangan tamu. Ternyata itu suruhan Pak Sugeng. Dia menitipkan sepucuk
surat dan menyampaikan maaf karena Pak Sugeng tidak bisa datang langsung.
Setelah tamu itu pulang, Denok membaca surat dari Pak Sugeng. Isinya: Pak
Sugeng menyanggupi permintaan Denok.
Malamnya, untuk kedua kalinya, Denok salat tahajud dan
kembali berdoa: ”Tuhan, berikanlah suara-Mu, kepadaku.“
***
Denok mendesah-desah menahan rasa nikmat yang sudah
berbulan-bulan tidak lagi ia rasakan. Mulanya ia ingat wajah Otong, tapi
lama-kelamaan, Denok tak ingat apa-apa lagi. Dia hanya menuruti naluri alami
yang sedang menggerayangi sekujur tubuhnya.
Pak Sugeng menyumpal mulut Denok, istri muda yang baru
dinikahinya sore tadi secara siri. Dia tak suka suara desahan Denok yang makin
lama makin keras dan nyaris menjerit-jerit.
Setelah hajat keduanya berhasil ditunaikan, masih dalam keadaan
telanjang, Denok berkata pada Pak Sugeng: ”Mas, kenapa mulut saya disumpal?
Katanya suara saya itu suara Tuhan?”
Pak Sugeng menjawab pertanyaan itu dengan dengkuran yang
bunyinya persis seperti suara kodok di musim hujan.
***
*) Dikutip dari sajak ”Tentang Seseorang yang Terbunuh di
Sekitar Hari Pemilihan Umum” karya Goenawan Mohammad. Judul cerpen ini bisa
dianggap sebagai alusi dari judul sajak tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar