Realitas Sosial dalam Prosa
“Surabaya” karya Idrus
oleh: Bagus Afiansah
A. Pendahuluan
1.1 Alasan pemilihan judul
Perjuangan masyarakat Surabaya dalam mempertahankan
kemerdekaan dari serangan sekutu menjadi pembahasan serta fokus dari sebuah
prosa berjudul “Surabaya karya Idrus. Dalam cerpen tersebut idrus menggambarkan
keadaan sosial dan perjuangan masyarakat untuk mempertahankan kemerdekaan
Republik Indonesia dari tentara sekutu di Surabaya yang dikenal dengan
Pertempuran 10 November 1945. Keadaan yang digambarkan ialah pelarian-pelarian,
kehilangan rumah, mengungsi, menjadi gila; tentara bambu runcing melawan tentara
baja; tentara RI adalah cowboy dan tentara sekutu adalah
bandit; pengeroyokan dan pembunuhan pengkhianat oleh orang-orang yang sudah
geram, dan sebagainya.
Pertempuran 10 November 1945 yang cukup di soroti
Idrus ialah mengenai persenjataan tentara sekutu yang dianalogikannya sebagai
Tuhan yang baru. Kasdi (1986:256) dalam Pertempuran 10 November
1945 mendeskripsikan bahwa sekutu membuat Surabaya menjadi lautan api
dengan senjata-senjatanya. Surabaya di gempur dengan tembakan-tembakan meriam
dan kapal perang penghancur, disusul dengan bombardemen dan tembakan dari
udara. Selain itu, ledakan senjata api terjadi terus menerus. Itulah alasan
dari munculnya Tuhan baru. Senjata memberikan kekuatan yang mempu menciptakan
kehancuran dan kematian sehingga sasaran senjatalah yang menjadi dan penentu
hidup matinya pejuang dan masyarakat Surabaya pada saat itu. Melalui cerpen
“Surabaya” karya idrus ini dapat kita lihat keadaan pada masa perjuangan
mempertahankan kemerdekaan di Surabaya dan realitas sosial yang terjadi pada
masa itu, penggambaran yang dilakukan Idrus dengan gaya “sinis”nya dalam cerpen
tersebut memiliki daya tarik terendiri untuk dibahas.
1.2 Latar Belakang
Seperti
yang telah kita ketahui bahwa bangsa Jepang adalah bangsa terakhir menjajah
sampai akhirnya Indonesia meraih kemerdekaan. Para sastrawan yang ada pada masa
ini selain ikut berjuang dengan fisik dalam perang kemerdekaan, mereka juga
menyibukkan diri untuk mencoba merumuskan dan mencari orientasi pada berbagai
kemungkinan bangunan kebudayaan bagi Indonesia kedepan. Setelah merdeka
Indonesia memasuki era revolusi, yakni masa pembaharuan baik dari segi
pemerintahan, sosial, budaya dan kenegaraan. Hal ini juga memberi dampak pada
sastrawan dan hasil karya sastra mereka pada saat itu. Sehingga angkatan 45
memiliki konsepsi estetik tersendiri.
Periode
Angkatan 45 sendiri dimulai tahun 1942, tidak lama sesudah masuknya Jepang ke
Indonesia. Periode ini merupakan pengalaman dan saat yang penting dalam sejarah
bangsa dan juga sastra Indonesia. Pada masa ini, Jepang melarang penggunaan
bahasa Belanda dan diganti dengan bahasa Melayu. Hal ini memberi dampak pada
intesifikasi pada penggunaan bahasa Melayu (Indonesia) dan, tentu saja,
mengintensifkan perkembangan kesusastraan Indonesia.
Sedangkan
secara politik, Jepang mengumpulkan para seniman di Kantor Pusat Kebudayaan
(Keimin Bunka Shidosho). Awalnya, banyak seniman yang dengan penuh semangat
menerima panyatuan di bawah satu organisasi. Namun, bersama lalunya waktu, para
seniman tersebut sadar bahwa mereka diperalat untuk kepantingan propaganda
Jepang yang sedang berusaha menguasai seluruh Asia. Kesadaran tersebut muncul
setelah mengetahui janji-janji kosong, kekejaman, dan penindasan yang dilakukan
oleh Jepang.
Akan
tetapi setelah Indonesia merdeka tidak serta merta semua permasalahan berakhir.
Dampak dari kekalahan jepang dari sekutu pada perang dunia kedua membuat
indonesia kembali ingin dikuasai sekutu. Namun kedatangan sekutu mendapat
perlawanan dari masyarakat indonesia, tidak terkecuali di Surabaya seperti yang
digambarkan oleh Idrus dalam prosanya yang berjudul “Surabaya”. Melalui cerpen
tersebut dapat kita lihat keadaan yang terjadi pada masyarakat Surabaya serta
perjuangannya mempertahankan kemerdekaan RI. Selain itu tidak adanya tokoh
utama dalam cerpen tersebut juga menjadi keunikan yang akan kita bahas bersama
realitas sosial yang terdapat dalam novel tersebut.
B.
Pembahasan
2.1 Sastra angkatan 45
a. 45 sebagai Nama Angkatan
Penamaan
angkatan ini dengan nama Angkatan 45 didasarkan pada peristiwa politik, yaitu
kemerdekaan Indonesia. Selain nama tersebut ada beberapa nama yang digunakan
dengan maksud yang sama. Nama-nama tersebut antara lain Angkatan Kemerdekaan,
Angkatan Pembebasan, Angkatan Perang, Angkatan Sesudah Perang, Angkatan Sesudah
Pujangga Baru, Angkatan Chairil Anwar, dan Anggkatan Gelanggang.
Sebagai
sebuah angkatan, Angkatan 45 adalah sebuah rentang waktu dalam kesusastraan
Indonesia. Rentang waktu angkatan ini adalah antara 1942-1953. Periode ini
dibagi menjadi dua, yaitu masa penjajahan Jepang dan masa sesudah penjajahan
Jepang. Masa penjajahan Jepang antara 1942-1945 dan masa sesudah penjajahan
Jepang antaara 1945-1953.
b. Sastrawan-Sastrawan Angkatan 45
Para
sastrawan Angkatan 45, tidak seperti angkatan sebelumnya, telah berkembang
jumlahnya. Dengan demikian, dalam tulisan ini disampaikan yang tercatat dalam
beberapa referensi dan akan dikembangkan pada saat yang lain ketika ada
referensi baru yang dapat dijangkau. Berikut sastrawan-sastrawan Angkatan 45
yang tersusun alfabetis.
Beberapa
sastrawan yang menjadi motor dan pelopor Angkatan 45, di antaranya sebagai
berikut.
1. Chairil Anwar
Lahir
di Medan, 26 Juli 1922, dan meninggal di Jakarta, 28 April 1949. Chairil
menguasai bahasa Inggris, bahasa Belanda, dan bahasa Jerman. Karya sastranya
dipengaruhi oleh sastrawan dunia yang dia gandrungi, seperti Rainer M. Rilke,
W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff dan Edgar du Perron.
2. Asrul Sani
Lahir
di Sumatra Barat, 10 Juni 1926, dan meninggal di Jakarta, 11 Januari 2004.
Kiprahnya sangat besar pada dunia film Indonesia. Banyak menerjemahkan karya
sastrawan dunia seperti: Vercors, Antoine de St-Exupery, Ricard Boleslavsky,
Yasunari Kawabata, Willem Elschot, Maria Dermount, Jean Paul Sartre, William
Shakespeare, Rabindranath Tagore, dan Nicolai Gogol.
3. Rivai Apin
Lahir
di Padang Panjang pada 30 Agustus 1927, dan wafat di Jakarta, April 1995.
Pernah menjadi redaktur Gema Suasana, Siasat, Zenith, dan Zaman Baru.
Keterlibatannya dalam Lekra menyebabkan
dia ditahan dan baru dibebaskan tahun 1979.
4. Idrus
Lahir
di Padang, 21 September 1921, dan 18 Mei 1979. Sastrawan dunia yang ia sukai:
Anton Chekov, Jaroslov Hask, Luigi Pirandello, dan Guy de Maupassant. Pada masa
Lekra, Idrus memutuskan pindah ke Malaysia karena tekanan lembaga tersebut.
5. Achdiat Karta Mihardja
Lahir
di Jawa Barat, 6 Maret 1911, dan meninggal di Canberra, Australia, 8 Juli 2010.
Kiprahnya guru Taman Siswa, redaktur Balai Pustaka, Kepala Jawatan Kebudayaan
Perwakilan Jakarta Raya, dan dosen Fakultas Sastra UI.
6. Trisno Sumardjo
Lahir
1916, dan meninggal 21 April 1969. Selain sebagai sastrawan, dikenal juga
sebagai pelukis.
7. Utuy Tatang Sontani
Lahir
di Cianjur, 1 Mei 1920 , dan meninggal di Moskwa, 17 September 1979. Ia adalah
utusan dalam Konferensi Pengarang Asia-Afrika di Tashkent, Uzbekistan, 1958.
Utuy mengajar Bahasa dan Sastra Indonesia di Moskwa.
c.
Karya sastra angkatang 45
Beberapa
karya sastra yang dihasilkan angkatan 45, di antaranya adalah sebagai berikut.
Kerikil
Tajam (Chairil Anwar, 1949)
Deru
Campur Debu (Chairil Anwar, 1949)
Tiga
Menguak Takdir (Asrul Sani, Rivai Apin dan Chairil Anwar, 1950)
Dari
Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (Idrus, 1948)
Atheis
(Achdiat K. Mihardja, 1949)
Katahati
dan Perbuatan (Trisno Sumardjo, 1952)
Suling
(Utuy Tatang Sontani, 1948)
Tambera
(Utuy Tatang Sontani, 1949)
Pelopor
Angkatan 45 pada bidang puisi adalah Chairil Anwar, sedangkan pelopor Angkatan
45 pada bidang prosa adalah Idrus. Karya Idus yang terkenal adalah Corat-Coret
di Bawah Tanah
pelopor
Angkatan 45 (essai) karya H.B.Jassin, dan sebagainya
Karya
Angkatan 45 memiliki kedekatan yang intim dengan realitas politik. Ini sangat
berbeda dengan Angkatan Pujangga Baru yang cenderung romantik-idealistik. Lahir
dalam lingkungan yang sangat keras dan memprihatinkan, karya sastra Angkatan 45
memiliki ciri sebagai berikut;
1. terbuka,
2. pengaruh
unsur sastra asing lebih luas dibandingkan angkatan sebelumnya,
3. bercorak
isi realis dan naturalis, meninggalkan corak romantis,
4. sastrawan
periode ini terlihat menonjol individualismenya,
5. dinamis
dan kritis, berani menabrak pakem sastra yang mapan sebelumnya,
6. penghematan
kata dalam karya,
7. lebih
ekspresif dan spontan,
8. terlihat
sinisme dan sarkasme,
9. didominasi
puisi, sedangkan bentuk prosa tampak berkurang.
2.2 Realitas sosial
dalam prosa “Surabaya” karya Idrus
a.
Sinopsis cerpen “Surabaya”
Orang
Indo-Belanda berani memasang bendera merah putih biru di hotel Yamato.
Orang-orang Indonesia tercengang, tiba-tiba seorang pemuda naik keatas tiang
bendera dan dirobeknya kain biru. Orang-orang Indo-Belanda menembaki
orang-orang seperti cowboy yang memegang belati. Pertempuran di Surabaya membara,
orang-orang harus menyerahkan senjatanya pada sekutu. Tetapi mereka tidak mau,
akhirnya api membakar gedung-gedung dan jiwa bangsa Indonsia. Jalan-jalan
diluar kota penuh dengan manusia, kebanyakan wanita, mereka berjalan
sempoyongan.
b. Realitas
sosial
“Surabaya”
adalah salah satu cerpen karya Abdullah Idrus yang dimuat dalam kumpulan
cerpennya Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (1990). Cerpen tersebut berkisah
tentang keadaan saat perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI dari tentara
Sekutu di Surabaya yang juga dikenal dengan Pertempuran 10 November 1945. Keadaan
yang digambarkan dalam cerpen tersebut seperti Pelarian-pelarian kehilangan
rumah, mengungsi, dan menjadi gila; tentara berbambu runcing melawan tentara
bersenjata baja; tentara RI adalah cowboy
dan tentara Sekutu adalah bandit; pengeroyokan dan pembunuhan penghianat oleh
orang-orang yang sudah sangat geram; dan sebagainya.
Idrus
sendiri merupakan seorang prosais yang sering kali mengungkapkan “kegelisahannya”
akan imperialisme lewat karya-karyanya dengan ungkapan kasar. Namun, itu tidak
menandai bahwa Idrus adalah seorang yang kontrarevolusi. Caranya yang demikian
justru menunjukkan seberapa bencinya Idrus terhadap imperialisme. Seperti
kutipan yang dijadikan judul tulisan ini “Ya! Imperialisme dan penyakit
sipilis! Hancurkan!” (Idrus, 1990: 151), imperialisme disetarakan dengan
penyakit sipilis; keduanya harus dihancurkan. Gaya Idrus dalam mengungkapkan
pemikirannya melalui prosa memang sangat unik, seperti yang dalam cerpen
“Surabaya” yang melukiskan realitas sosial yang terjadi pada masa mempertahankan kemerdekaan dari tangan
sekutu.
Keunikan
yang dapat kita temui selain realitas sosial yang ia gambarkan dalam cerpen “Surabaya” karya Idrus ini ialah tidak adanya tokoh utama yang menjadi sorotan dalam cerita dan tidak
adanya dialog seperti kebanyakan prosa atau cerpen lainnya.. Roolvink (1953:
219) mengatakan bahwa karangan Idrus berjudul ”Surabaya” secara jelas
terungkapkan tujuan dan cita-citanya. Keunikan karangan ini juga diungkapkan
Roolvink: karangan ini bukan roman, bahkan bukan novel, sebab intrik,
pelaku-pelaku hampir tidak terdapat di situ.
Ketika ia melihat keadaan rakyat Indonesia yang melarat
dan begitu sengsara karena Jepang, tulisannya berubah. Tidak lagi romantik,
melainkan melukiskan realitas kehidupan masa itu. Tentu tulisan-tulisannya
tidak boleh dipublikasikan ketika masa Jepang, seperti ”Corat-Coret di Bawah
Tanah” yang terkesan sinis dan kasar. Sikap sinis dan kasar ini diperlihatkan
pula ketika ia menulis tentang para pejuang kemerdekaan menghadapi
pasukan-pasukan Inggris dan Belanda yang mau menjajah lagi Indonesia dalam
cerpen ”Surabaya”.
Dalam cerpen “Surabaya”, para pejuang kemerdekaan disebutnya ”koboi-koboi” dan
tentara sekutu ”bandit-bandit”. Itu membuatnya dicap sebagai kontra revolusi.
Alasan ia kontra revolusi diungkapkannya dalam kumpulan cerpen itu juga,
berjudul ”Jalan Lain ke Roma”, yang berkisah tentang tokoh si Open. Rosidi
(1991: 97) mengungkapkan bahwa cerpen tersebut merupakan penjelmaan si
pengarang sendiri.
Persoalan yang diangkat dalam prosa ”Surabaya” adalah
kejadian yang sungguh terjadi kala itu. Dia mengangkat kisah kehidupan
sehari-hari. Bukan hanya sehari-hari, tapi juga ada momen besar saat itu di Surabaya,
kemudian ia tuangkan dalam karya sastra. Peristiwa yang terjadi bulan-bulan
akhir tahun 1945. Dapat dirasakan kesengsaraan penduduk Surabaya
pascakemerdekaan karena sekutu dan Belanda yang hendak menduduki Indonesia
kembali, juga penggambaran para pelarian dan pemuda-pemuda yang gigih
mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Sebenarnya
apa yang terjadi saat itu di Surabaya? Perhatikan kutipan paragraf kedua cerpen
“Surabaya” berikut ini.
Waktu beberapa orang
Belanda Indo berani menaikkan bendera merah putih biru di Hotel Yamato,
orang-orang Indonesia tercengang-cengang. Orang-orang tercengang bertambah
banyak dan bertambah lama bertambah mendekati hotel itu. Tiba-tiba melompat
seorang pemuda ke depan. Dipanjatnya tiang bendera, dirobeknya kain biru dari
bendera itu. Orang-orang tercengang bertepuk dan bersorak, tapi orang-orang
Belanda Indo marah-marah. Bukan untuk dirobek mereka menaikkan bendera... (hlm.
119).
Kejadian
tersebut sungguh terjadi pada tanggal 19 September 1945. Seperti yang terungkap
di atas, peristiwa ini terjadi ketika orang Belanda yang tinggal di Hotel
Yamato mengibarkan bendera Belanda. Tindakan ini menimbulkan kemarahan rakyat
Surabaya dan menyerbu hotel. Mereka menurunkan bendera tersebut dan merobek
warna birunya lalu mengibarkan kembali bendera merah putih.
Insiden
Merah Putih di Hotel Yamato tersebut merupakan salah satu perjuangan bersenjara
dan diplomasi dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Selain di Surabaya,
daerah lainnya juga mengalami hal serupa seperti di Bandung, Medan, Manado, dan
Biak. Semua itu terjadi karena pihak penjajah tidak sudi melihat Indonesia
menjadi bangsa yang merdeka.
Setelah
Perang Fasifik berakhir, semua wilayah kekuasaan Jepang berada di bawah
pengawasan pasukan sekutu. Pasukan sekutu yang bertugas mengawasi Indonesia
adalah Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI). Pasukan
yang berintikan tentara Inggris itu dipimpin oleh Letjen Sir Philip Christison.
Berikut tugas AFNEI.
- Mengurus penyerahan, pelucutan, dan
pemulangan tentara Jepang.
- Membebaskan tawanan perang.
- Memulihkan keamanan dan ketertiban.
- Mencari dan mengadili para penjahat
perang (Matroji, 2006 :44).
Tugas
AFNEI tersebut juga terungkap dalam cerpen.
Sekutu hanya akan
mengambil tawanan-tawanan perang dan orang-orang Jepang. Jantung Rakyat yang
sebelah percaya kepada kata-kata pemimpin, tapi jantungnya yang sebelah lagi
tetap mencurigai sekutu (hlm. 121).
Setelah
tugasnya di Indonesia selesai, maka, status Indonesia dikembalikan kepada Netherlands-Indies
Civil Administration (NICA). Tentu hal tersebut tidak sejalan dengan
kemauan dan kepentingan Bangsa Indonesia, maka, pertempuran pun tidak
terhindarkan.
Melalui
cerpen Idrus, “Surabaya” tergambarkan bagaimana kekejaman penjajah terhadap
rakyat Indonesia. Keadaan rakyat yang sangat menderita karena sekutu di
Surabaya digambarkan sangat lugas dan sadis oleh Idrus dalam cerpen. Berikut
adalah kutipan penggarambaran para perempuan yang sedang hamil dan harus
melarikan diri, sampai-sampai mereka harus melahirkan di jalan.
Mereka merintih-rintih
kesakitan di tepi jalan dan dalam hatinya mereka menyumpahi Tuhan. Tidak
seorang pun dari mereka menghendaki anak pada waktu itu. Dengan perut-perut
gendutnya mereka melarikan diri dari maut dan di tengah jalan perut-perut
gendut itu tiba-tiba menjadi kempes dan terdengar teriakan bayi...
(hlm.123).
Baik
tua maupun muda semuanya menderit karena kekejaman Sekutu saat itu.Kita juga
dapat mengetahu bagaimana perawatan terhadap rakyat sebagai pelarian dari
tempat kejadian pertempuran. Dalam keadaan sulit seperti demikian, Idrus
menggambarkan betapa satu sama lain tidak lagi saling menolong dan
memperhatikan, seperti penggambarannya terhadap seorang perempuan yang
kehilangan anaknya. Ketidakadilan yang diterima oleh para perempuan pelarian
yang berada di tempat pengungsian juga digambarkan oleh Idrus. Pada bagian itu,
ia mengungkapkan bahwa banyak perempuan-perempuan yang melupakan suaminya untuk
melayani pengawal-pengawal bedeng.
begitu Idrus menyebutnya agar diperlakukan baik oleh mereka. Penggambaran sinis
Idrus terhadap perempuan pelarian yang diperlakukan berbeda dengan laki-laki
pelarian terdapat dalam bahasa yang dipakainya dalam cerpen.
Dalam hatinya ia
berkata, “Alangkah enaknya jadi perempuan dapat kesenangan dan makanan.” (hlm.
128).
Perempuan-perempuan itu
semakin hari semakin liar. Mereka sering lupa dengan suaminya yang ditinggalkan
bertempur di Surabaya dan pergi mengecap kesenangan dengan pengawal-pengawal ke
tempat gelap. Gadis-gadis kehilangan benda berharganya di sini, tapi mereka
tidak menyesal... (hlm.128).
Tapi akhirnya
orang-orang bosan dan mual seperti perempuan jahat yang baru selesai dipakai
(hlm. 129).
Dari
beberapa kutipan di atas, sebetulnya terungkap betapa Idrus seorang laki-laki
yang patriarkhi. Akan tetapi, untuk membuktikan pernyataan tersebut perlu
analisis lebih dalam lagi terhadap karya-karyanya. Pemakaian kata-kata untuk
menggambarkan perempuan pelarian itu sangat sinis terasa. Padahal, jika
dipikirkan dari sudut pandang perempuan: tidak mungkin perempuan rela menghianati
suami mereka yang sedang bertempur melawan penjajah dengan enak-enakan melayani
laki-laki lain, jika tidak dipaksa atau disiksa. Soal kekejaman sekutu terutama
Jepang dalam memperlakukan perempuan agaknya bukan rahasia lagi yakni bahwa
mereka sangat haus dan seringkali memperkosa para perempuan yang sudah menikah,
maupun para gadis. Ketidakadilan terhadap perempuan juga diungkapkan Idrus.
Idrus
membagi cerpen “Surabaya” ini menjadi 9 bagian. Pada bagian 8 saat
hendak-hendak penghabisan, ia masuk ke dalam bagian leraian. Jika dilihat
dari segitiga Goestaf, cerpen Idrus termasuk di dalamnya: di bagian awal
pemaparan, lalu di tengah klimaks berupa penjabaran berbagai penderitaan
orang-orang Surabaya, dan terakhir leraian berupa kemenangan Indonesia atas
sekutu. Idrus menutup cerpennya pada bagian 9 dengan menceritakan keadaan
tentara Indonesia yang banyak menderita penyakit sipilis karena sekutu
mengamburkan perempuan-perempuan jahat ke medan pertempuran (hlm. 150).
Dalam
prosa “Surabaya” juga terdapat tendensi yang diemban karya sastra, secara
keseluruhan memiliki nilai humanis yang memberikan kebebasan pada pembaca dalam
mengambil pesan yang ada di dalamnya. Nilai pedagogis yang diemban dalam sebauh
karya sastra lebih mengarah pada pendidikan moral, seperti yang termuat di
dalamnya “… jika yang kuat tidak berjalan di atas keadilan, bagaimana pun juga
kuatnya, ia akan diberi Tuhan kekalahan dan malapetaka.” (Surabaya, Idrus, Gema
tanah Air 2, hlm. 44).
Pernyataan
Idrus ini dapat dipandang sebagai gelora semangat yang dikelola sedemikian rupa
untuk menciptakan generasi yang berani membela keadilan dan kebenaran. Untuk
melawan kejahatan yang disimbolkan melalui pasukan Sekutu yang mendarat di
Surabaya, Idrus menyatakan pada kita semua untuk berani karena Tuhan bersama
orang yang benar, dan Tuhan membenci orang yang salah. Akantetapi, Idrus pun
menjadi orang yang realistis, bahwa melawan kejahatan tidak semudah membalikkan
telapak tangan. Seperti kita lihat dalam: “… tapi jenderal-jenderal abad dua
puluh berpendapat lain: mereka lebih percaya kepada meriam-meriamnya dari pada
dogma-dogma khayal itu” (Surabaya, Idrus, Gema Tanah Air 2, hml. 44).
Tendensi
di dalam karya sastra dapat digunakan untuk membangun paradigma berpikir
masyarakat. Nilai humanistik untuk menyerahkan kebenaran hanya pada pembaca
tersebut, Idrus menuangkan dalam dua pandangan berbeda. Yaitu mengenai mereka
yang percaya pada keyakinan agama atau percaya pada kualitas teknologi manusia.
Ini sisi humanisme sastra, tidak melakukan penghakiman atas benar atau salah,
akan tetapi memberikan pendidikan dengan cara memberikan gambaran mengenai
sesuatu yang nyata di antara berbagai pilihan kemudian menggambarkan keadaan
idealisnya kehidupan.
Seperti
yang di lakukan Idrus, ia menggambarkan idealisme serta realitas sosial yang
terjadi dalam prosa “Surabaya” dengan Analogi-analogi seperti cowboy, bandit,
dan tuhan baru yang diberikan Idrus membuka pemahaman bahwa semangat dan
perjuangan tidak harus disampaikan dengan cara yang kaku karena sastra, walau
mengandung sejarah, bukanlah sebuah data sejarah. Sastra adalah sebuah
representasi realita yang berbaur dengan imajinasi. Jadi, hal-hal yang
diungkapkan Idrus dalam cerpen ini tetap memiliki hakikat yang sama dengan
realitas yang terjadi pada masa itu termasuk juga semangat kepahlawanan
indonesia.
Semangat
kepahlawanan Indonesia terasa sangat luar biasa karena hasil yang ada sekarang
adalah tidak ada penjajahan di Indonesia. Melihat persenjataan Sekutu, rasanya
mustahil untuk mencapai hasil tersebut. Bambu runcing. Senjata sederhana
tersebut memiliki keampuhan yang luar biasa dalam usaha-usaha para pejuang.
“keadaan tentara-tentara kita sangat menyedihkan. Mereka hanya dikatakan
memiliki bambu-bambu runcing sebagai senjata. Tapi dengan bambu-bambu itu
mereka menahan serta memukul mundur serangan-serangan musuh dan dengan itu
mereka menyelamatkan kita semua di garis belakang” (Idrus, 1990: 50). Bambu
runcing adalah simbol suatu semangat perjuangan.Indonesia saat itu memiliki dua
sistem persejataan, yaitu sistem senjata tekologi dan sistem senjata sosial
(Setiadijaya, 1991: 571). Bambu runcing sebagai sistem senjata sosial digunakan
secara heroik dan patriotik oleh para pahlawan terdahulu sehingga mampu
mengalahkan sistem persenjataan yang lebih modern, seperti yang diakui oleh
bekas lawan-lawan bangsa ini.
Pada masa pertempuran 10 November 1945 ini juga,
terdapat sebuah semboyan yang terkenal dari Bung Tomo, “Selama banteng-banteng
Indonesia masih berdarah merah, yang dapat membikin secarik kain putih menjadi
merah dan putih, selama itu tidak akan suka kita membawa bendera putih untuk
menyerah kepada siapa pun juga” (Kasdi dkk, 1986: 258). Semangat perjuangan
yang tedapat dalam semboyan tersebut menunjukkan semangat perjuangan yang adat
pada masanya: semangat membela negara sampai titik darah penghabisan. Semangat
yang demikian adalah yang ingin disampaikan Idrus melalui cerpen “Surabaya” ,
seperti yang dilakukan semangat pemimpin-pemimpin tentara yang lebih memilih
tinggal dan mati di Surabaya daripada harus menyerah (Idrus, 1990:137).
Sebagai
sastrawan, Idrus dan rekan-rekannya dalam Angkatan 45 banyak berbicara mengenai
kisah-kisah perjuangan. Romantisasi perjuangan yang dilakukan para sastrawan
Angkatan 45 bermuara pada satu hal, yaitu anti imperialisme. Idrus dengan
gayanya meromantisasikan perjuangan hampir serupa parodi. Dengan cowboy,
bandit, dan lain-lain, Idrus seperti mentransformasikan sejarah dan semangat
perjuangan Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya serta pengalaman hidup yang
ia alami pada cerpennya.
C.
Penutup
Simpulan
Dari
penjelasan di atas, kita dapat melihat betapa cerpen “Surabaya” ini merupakan
cerminan masyarakat yang terjadi pada waktu itu. Kedatangan Sekutu yang
diboncengi NICA pada saat itu ternyata bertujuan merebut Indonesia kembali.
Pertempuran di sejumlah tempat dalam mempertahankan kedaulatan bangsa pun tak
terhindarkan. Idrus adalah salah satu pengarang yang berhasil merekam peristiwa
pertempuran di Surabaya itu. Keadaan masyarakat yang menderita karena ulah
sekutu digambarkannya begitu detail. Tidak adanya tokoh utama dan alur cerita
membuat cerpen ini menjadi menarik, bagai fragmen-fragmen yang mengisahkan
perjalanan orang-orang Surabaya keluar dari penindasan penjajah saat itu.
Melalui cerpen ini, hal-hal yang tidak diketahui pembaca dalam buku-buku
sejarah, tergambarkan oleh Idrus dengan menarik.
D.
Daftar
Pustaka
Idrus.
1990. Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma. Jakarta: Balai Pustaka.
Kasdi,
dkk. 1986. Pertempuran 10 November 1945: Citra Kepahlawanan Bangsa Indonesia di
Surabaya. Surabaya: Panitia Pelestarian Nilai-nilai Kepahlawanan 10 November
2010.
Rosidi.
Ajip. 1991. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Binacipta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar