IA bergerak dengan puncak luka. Nyonya Malisa, perempuan
menuju senja itu. Tubuhnya hampir-hampir lunglai. Pada jok belakang mobil
mewahnya, tubuh itu ia sandarkan. Sedikit nyaman. Tetapi, rasa nyaman itu tak
bisa menahan sakit luar biasa. Air liur menetes terus dari mulutnya. Aneh, jika
lidahnya dijulur-julurkan, Nyonya Malisa merasa sakit itu hilang.
(Apakah aku mesti menjulur-julurkan lidahku selamanya?)
Saat mobil Nyonya Malisa terjerembab pada jalan berlubang,
ia mengerang. Tapi, Nyonya Malisa harusnya tidak mengerang. Ia mesti maklum.
Sebab, ia mengerti bagaimana jalan-jalan itu berlubang, meskipun belum lama
dibangun. Sebab, ia paham bagaimana kontraktor meraup keuntungan dari
penggelembungan proyek anggaran pembangunan jalan.
Hanya dengan mengubah deretan angka pada daftar isian
pelaksanaan anggaran, segalanya menjadi sah. Tidak ada yang tahu. Semua
tertutup wabah “tahu sama tahu”. Nyonya Malisa suka itu. Cukup sedikit
keberanian, ia bisa meraup untung. Pertama, dari anggaran yang digelembungkan.
Kedua, dari uang terima kasih para pengusaha sebagai upeti atas kemenangan
tender proyek. Sungguh, betapa nikmat hidup.
“Tempatnya masih jauh, Nyonya?”
Towil, sopir pribadi Nyonya Malisa, buka suara. Nyonya
Malisa tidak menjawab. Dari kaca mobil, Towil memperhatikan Nyonya Malisa.
Napas tidak beraturan. Lidah dijulur-julurkan. Mulut tak berhenti mengerang.
Ah, Towil ditimpa ribuan perasaan. Ia kasihan, tapi juga ngeri dan jijik.
“Nyonya, masih jauh rumahnya?” ulang Towil.
“Heeeeeh,” Nyonya Malisa meracau.
Hujan deras turun. Timbunan air menumpuk, memunculkan
kubangan. Seorang pengemudi mobil mengumpat kasar saat laju kendaraannya
dipotong mendadak pengendara motor. Tidak terima diumpat, pengendara motor
berhenti. Keduanya terlibat perselisihan. Keras. Nyonya Malisa tak mau pusing
dengan soal seperti itu. Tujuannya pergi hanya satu, menemui Yasmin.
Yasmin, seperti apa dia sekarang? Gemuk atau kurus, kaya
atau miskin? Pasti, ia tak jauh dari dulu. Sedikit gemuk, sedikit kurus. Tidak
kaya, tidak miskin. Cukup, itu cita-cita Yasmin. Kepastian hidup, begitu
katanya. Yasmin enggan diombang-ambingkan ketidakpastian hidup. Sebuah prinsip
yang ditentang Malisa, karena Yasmin mencari kepastian hidup dengan kembali ke
kampung. Yasmin menjadi ustazah dan mengajar di pesantren milik pamannya
setelah lulus kuliah.
“Aku tak percaya. Bagaimana mungkin mantan aktivis hebat
sepertimu pulang kampung?” Malisa menertawakan sahabatnya. Nyinyir, juga getir.
Dulu, puluhan tahun lalu.
Kata Malisa lagi, “Dunia tak sekecil rumah merpati, kawan.
Sesudah lulus, ladang hidup kita ibarat samudera. Dan kita adalah calon nakhoda
yang diincar kapal-kapal. Kita tak sulit masuk partai. Kita mudah jadi
wartawan. Kita bisa membuat LSM. Kita mampu bikin perusahaan. Malah kalau
beruntung, kita dapat masuk lingkaran terdalam penguasa negeri ini.”
“Aku tak tertarik,”Yasmin lembut, tapi kukuh.
“Kenapa?”
“Kakekku guru, ayahku guru, keluarga besarku guru. Aku
adalah guru. Dengan jadi guru, aku belajar merendahkan hatiku.”
Malisa menyesalkan Yasmin. Kebodohan macam apa yang ada
padanya? Kenapa Yasmin mau letih dengan menjadi guru setelah cakrawala luas
disisir satu demi satu semasa predikat aktivis melekat di pundaknya? Bodoh,
sangat bodoh.
(Kenapa ia tidak mau menjulur-julurkan lidahnya?)
***
SETELAH lulus, Malisa tidak masuk arena politik atau jadi
wartawan. Malisa juga tidak bikin perusahaan atau bekerja di LSM. Tapi, Malisa
enggan seperti Yasmin. Ia paham bagaimana mengelola ambisi. PNS! Masuk pegawai
negeri sipil di salah satu kementerian. Kepastian hidup diperoleh bila PNS
dalam genggaman.
Dengan jadi PNS, Malisa yakin, jabatan tinggi bukanlah
perkara sulit. Ia punya jaringan aktivis. Beberapa teman sudah jadi politikus
muda yang terampil memasak isu. Tak sedikit kawan jadi pengusaha yang lihai
melobi kanan-kiri demi sebuah kepentingan. Banyak temannya adalah wartawan yang
biasa memoles fakta demi berita.
Di masa tua, Nyonya Malisa mengincar medan politik. Partai
politik butuh orang-orang seperti dirinya, pensiunan pejabat negara. Tak
mengapa, karena partai perlu pikiran birokrat ahli. Tanpa mereka, partai
politik hanya jadi roh gentayangan pencari suara. Lengkaplah karir Nyonya
Malisa. Malah kalau sedikit beruntung, kursi menteri tidak bakalan jauh
darinya. Jadi, ah, betapa naifnya Yasmin yang merasa, di kampung ia akan
mendapatkan segalanya.
Tapi, tunggu, benarkah Yasmin naif? Betulkah Yasmin bodoh?
Sekarang Nyonya Malisa malu berkata, iya. Nyonya Malisa malah percaya dan
yakin, di kampung Yasmin memang telah memperoleh impiannya. Dan karena itulah
Nyonya Malisa berniat menemui, sampai-sampai ia tidak lagi peduli, meski
sakitnya sedemikian parah. Baginya, bertemu dengan Yasmin adalah keharusan,
demi memperpanjang usianya.
Nyonya Malisa malas menemui Reki, temannya, bos koran
independen, tetapi isi korannya tak lebih dari sekadar gosip. Nyonya Malisa
juga enggan ketemu Ferdi, politikus urakan yang setiap hari pusing tujuh
keliling bila tidak ada televisi yang mewawancarai. Nyonya Malisa tak mau
menemui Satrio, temannya yang memilih jalan hidup sebagai pengusaha, tapi
tengah menghadapi tuntutan jeruji besi akibat menipu rekan bisnisnya. Nyonya
Malisa tak peduli, bila karena bantuan mereka itulah dirinya mampu menduduki
jabatan tinggi pada sebuah kementerian.
Bib! Bib! Bib! Suara telepon genggam bergetar. Towil meraih
dan mengangkat, menekan tombol dan menempelkan benda persegi empat itu ke
telinga. Terdengar suara ya, ya, dari mulut Towil.
“Nyonya, telepon dari Tuan.”
“Hm….”
“Kata Tuan, Dokter Handoyo menunggu. Nyonya harus di rumah
sakit sekarang.”
***
AH, Dokter Handoyo. Setahun lebih ia ditangani dokter
terkenal itu, tapi tidak ada perubahan berarti pada kondisinya. Setiap waktu
air liur masih terus menetes dari mulutnya, tanpa bisa berhenti. Mulanya Nyonya
Malisa malu, dikira seperti anak kecil. Lama-kelamaan ia mengerti, dirinya
sakit. Tidak mungkin air liur menetes, tanpa berhenti, kalau tidak ada apa-apa.
Bahkan Nyonya Malisa semakin hari merasa tubuhnya semakin
melemah. Persis sehelai daun pada ranting tertimpa cahaya matahari. Mulanya
hijau, kemudian menguning, lalu cokelat, akhirnya lepas dari ranting. Jatuh,
membusuk. Nyonya Malisa tidak mau bernasib seperti daun. Ia bukan daun, bukan
ranting, bukan akar, bukan batang, bukan pula pohon. Ia adalah Nyonya Malisa,
orang penting di negeri ini.
“Obati saya, sampai sembuh. Saya belum mau mati!” perintah
Nyonya Malisa kepada Dokter Handoyo, setengah tahun yang lalu.
Dokter Handoyo tersenyum dan berkata singkat. “Itu sudah
kewajiban saya.”
“Anda mampu?”
“Saya akan berusaha.”
Sumpah, Nyonya Malisa tak suka jawaban seperti itu. Jawaban
itu serupa jawaban politikus anak bawang saat ditanya wartawan tentang sebuah
kasus. Tidak tegas dan mengambang. Dalam telinga Nyonya Malisa, jawaban Dokter
Handoyo adalah jawaban pesimistis. Nyonya Malisa jadi malas bertemu, meski
hanya check up. Nyonya Malisa malah menemukan jawaban optimistis dari Eyang
Tabrani, guru spiritual yang didatangi demi doa, nasihat, atau pertolongan.
“Hanya Tuhan yang menentukan usia seseorang,” kata Eyang
Tabrani tegas.
“Kalau begitu, apa sakit saya bisa sembuh dan umur saya bisa
panjang?” tanya Nyonya Malisa
“Bisa.”
“Bagaimana caranya?”
“Kunjungi orang-orang baik. Jalin silaturahmi dengan
mereka.”
Nyonya Malisa tepekur. Pikirannya melayang. Orang baik? Ah,
di mana mereka bisa ditemukan? Nyonya Malisa sadar, betapa susahnya mencari
orang-orang baik di tengah pergaulan yang ia bangun selama ini. Teman-temannya
adalah pemakai topeng yang mudah meletakkan topeng yang satu, berganti dengan
topeng yang lain. Mereka lihai memoles bibir, mulut, hidung, pipi, mata, alis;
semua atribut wajah agar terlihat memikat.
Nyonya Malisa bergetar. Semangatnya tiba-tiba menyala. Tak
ada kata terlambat. Bukankah aku masih memiliki Yasmin, sahabatnya yang tulus,
rendah hati, dan tidak ambisius? Bukankah aku masih punya Ibu Arum, guru
SMA-nya dulu yang lembut dan penuh perhatian terhadap para siswa? Oh, ya
bukankah aku masih mempunyai Iqbal dan Ratri, kawan sepermainan di masa kecil
yang rajin shalat dan mengaji di masjid? Aku harus bertemu mereka! Mereka
adalah orang-orang baik yang bisa menyebuhkan sakitku dan memperpanjang usiaku.
***
“NYONYA, kita ke kanan atau kiri?” tanya Towil.
Napas Nyonya Malisa melemah. Wajahnya memucat. Air liur
terus menetes dari mulutnya, tak berhenti, seolah semburan banjir yang meluap.
“Kanan atau kiri, Nyonya?”Towil bergetar.
Sepi. Tak ada jawaban.
“Nyonya! Nyonya!”
(Aku tak bisa lagi menjulur-julurkan lidahku.)
Towil panik. Gemetar. Tubuh Nyonya Malisa tidak bergerak.
Napasnya berhenti. Nyonya Malisa meninggal dunia? Entahlah. Towil tak tahu,
karena seorang polisi lalu lintas telah menghentikan laju mobilnya, akibat ia
salah jalan. (*)
Taman Pagelaran, Bogor, 2013
Aruni Husna lahir di Banjarnegara, Jateng, lulusan
pascasarjana Ilmu Komunikasi UI, dan kini bekerja sebagai editor di sebuah
perusahaan penerbitan di Jakarta. Buku terbarunya yang telah terbit berjudul
Masjid Tanpa Mujahid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar