Ibu saya memelihara seekor lintah. Lintah itu dibuatkan
sebuah kandang yang mirip seperti rumah boneka berlantai dua, lengkap dengan
kamar tidur, ruang makan, ruang tamu dan kamar mandi dan ditempatkan tepat di
sebelah kamar Ibu. Saya selalu merengek kepada Ibu untuk memelihara hewan lain,
namun Ibu bersikeras memelihara lintah itu dan mempertahankannya sebagai hewan
peliharaan tunggal di rumah kami.
Saya penyayang binatang. Namun saya sangat benci kepada
lintah. Lintah tidak pernah puas atas apa yang dimilikinya. Begitu juga dengan
rumah pribadi istimewa. Sepulang sekolah, sering saya temui lintah itu duduk di
sofa ruang tamu kami. Kadang ia mengganggu saya ketika saya sedang menonton
televisi dengan mengganti saluran seenak hati. Bahkan ia sering kedapatan
sedang pulas tertidur di atas tempat tidur saya, dan tentunya membuat saya
mengurungkan niat untuk beristirahat.
Dari hari ke hari kebencian saya memuncak. Sudah lebih enam
bulan lintah itu tinggal bersama kami. Dan tabiatnya bertambah hari semakin kurang
ajar. Pada suatu hari saya mengadu kepada Ibu, bahwa saya sulit beristirahat
karena lintah itu sering meniduri tempat tidur saya. Di luar dugaan, Ibu
membela lintah ketimbang saya. Ia mengatakan bahwa saya melebih-lebihkan. Ibu
tidak percaya semua pengaduan yang saya utarakan. Yah… lintah ini memang sangat
pandai menarik hati Ibu. Setiap Ibu pulang kerja, lintah duduk manis di dalam
rumahnya. Lalu Ibu akan mengecupnya mesra dan membawanya masuk ke dalam
kamarnya. Entah apa yang mereka lakukan disana. Saya hanya mendengar
sayup-sayup suara ibu tertawa. Kadang hening tanpa satu suara. Namun pernah
juga saya mendengar desahan napas Ibu dan lintah berbaur jadi satu.
Pada suatu hari Minggu, keingintahuan saya mendesak kuat.
Saya mengintip dari sela-sela tirai yang sedikit terbuka ke dalam kamar Ibu.
Dan saya sangat kaget melihat seekor ular yang merah menyala. Lidahnya menjulur
keluar dan liurnya menetes ke bawah. Saya sangat jijik melihatnya. Namun Ibu
dengan rakusnya menelan habis liur ular besar itu tanpa menyisakan satu tetes
pun! Yang lebih mencengangkan lagi, ular itu berangsur-angsur mengecil. Saya
tidak bisa membayangkan sebelumnya bila ular itu tidak lain adalah lintah.
Hubungan Ibu dengan lintah semakin erat saja. Kalau dulu Ibu
hanya akan mengeluarkan lintah dari rumahnya dan membawanya ke dalam kamar,
sekarang Ibu membawanya ke mana-mana. Bila kami makan bersama, lintah itu
ditaruhnya di atas kepala dan berubah menjadi ular-ular kecil tak terhingga
banyaknya. Setiap Ibu menyendok satu suap nasi ke dalam mulutnya, tidak lupa
Ibu melemparkan sedikit makanan ke atas kepalanya dan ular-ular itu berebutan
dengan rakus di sana.* Tentu saja saya mual dengan pemandangan ini. Namun Ibu
tidak mau mengerti. Kalau saya tidak kuasa lagi menghabiskan makanan yang masih
tersisa, Ibu akan memaki dan memaksa saya untuk menuntaskan. Saya dapat melihat
mata ular-ular itu lebih menyala melihat penderitaan saya. Saya dapat melihat
mereka tertawa tanpa suara.
Bila kami sedang menonton televisi, lintah itu tertidur di
atas pangkuan Ibu. Dengkurannya sangat mengganggu dan bau tidak sedap menyergap
seisi ruangan itu. Bila ada acara musik di televisi, lintah langsung terbangun
dan Ibu akan memindahkannya kembali di atas kepalanya. Lalu lintah akan kembali
berubah menjadi ular-ular kecil dan menari gembira. Saya pernah mencoba
pura-pura terganggu nyamuk dan menyemprotkan obat serangga ke seluruh ruangan
dengan harapan racun serangga itu dapat membunuh lintah. Tapi Ibu langsung
melompat dari duduknya dan menempeleng muka saya. Dan mata kelihatan lintah
benar-benar tertawa.
***
Akhir-akhir ini Ibu lebih sering tinggal di rumah. Ibu
memang bukan pekerja tetap. Ibu adalah seorang penyanyi yang tentu saja tidak
tentu jadwal kerjanya. Kadang Ibu pergi pagi sekali dan tiba larut malam. Kadang
Ibu pergi sore hari dan baru kembali siang hari. Sering juga berhari-hari Ibu
tidak pulang bila mendapat tawaran menyanyi di luar kota. Kalau dulu saya
sering merindukan kehadiran Ibu, sekarang saya mengharapkan Ibu tidak pernah
kembali. Saya sudah muak melihat kedekatan Ibu dengan lintah. Bila Ibu pergi,
saya merasa tenang karena Ibu sudah mulai membawa lintah itu ke mana-mana. Saya
pernah melihat Ibu di televisi menyanyi dengan lintah yang sudah berubah
menjadi ular-ular kecil itu di atas kepalanya dan menari-nari. Saya pernah
membaca di surat kabar bahwa Ibu sudah diberi julukan penyanyi Medusa. Memang
banyak sekali tawaran sesudahnya. Dan ini membuat Ibu semakin saying kepada
lintah. Mungkin karena Ibu sudah demikian terkenal, Ibu menjadi pilih-pilih
tawaran. Dan inilah yang membuat Ibu lebih sering berada di rumah.
Ekonomi kami pun membaik. Kami jadi sering pergi
jalan-jalan. Ibu membelikan saya berbagai macam barang yang tidak ingin saya
punyai. Saya hanya ingin Ibu berpisah dengan lintah. Mungkin barang-barang yang
Ibu belikan untuk saya semata-mata rayuan supaya saya tidak lagi membicarakan
lintah.
Di luar rumah, bila kami sedang berjalan-jalan, Ibu tidak
menaruh lintah di atas kepalanya. Ibu menaruh lintah di dalam kantung supaya
tidak ada yang mengenali Ibu yang sudah berubah menjadi selebriti. Sering
lintah licik itu diam-diam membelah dirinya menjadi dua, dan seekor menyelinap
masuk ke dalam kantung saya tanpa sepengetahuan Ibu. Saya tidak berani mengadu,
takut Ibu marah seperti dulu. Sesekali Ibu memasukkan tangannya ke dalam
kantung untuk memeriksa keberadaan lintah. Dan alangkah puas mukanya bila
tangannya bersentuhan dengan tubuh lintah.
Beberapa kali berhasil membelah diri tanpa sepengetahuan
Ibu, lintah makin menjadi-jadi. Ia lalu membelah dirinya menjadi tiga, empat,
bahkan lima. Dan kali ini sudah tidak lagi menyelinap ke bawah baju saya. Yang
satu menyelinap ke pinggang saya. Yang satunya lagi ke perut saya. Dan mereka
berputar-putar sesuka hati menjelajahi tubuh saya sambil mengisapi darah saya.
Saya semakin membenci lintah. Dan saya mulai membenci Ibu.
***
Hari itu terik matahari begitu menyengat. Seragam sekolah
saya basah oleh peluh yang tidak kunjung berhenti menetes. Sesekali saya
merasakan perih saat setitik peluh jatuh tepat pada luka-luka bekas gigitan
lintah. Namun penat dan perih mendadak hilang setibanya saya di rumah. Saya
sangat bahagia mendapatkan mobil Ibu tidak ada. Saya masuk melalui ruang tamu
yang kosong tanpa mereka. Saya menengok rumah lintah yang rapi tak terjamah.
Saya masuk ke dalam kamar lengang dan kembali bahagia bersemayam dalam dada.
Saya membuka pintu kamar Ibu. Bau wangi menyergap hidung saya, menyergap
kerinduan, menyergap perasaan. Saya melangkah masuk. Memutar kunci dan
merebahkan diri di atas tempat tidur Ibu sambil memandang lukisan kami berrdua
yang terpampang di atasnya. Apakah semua lukisan keluarga yang menampakkan
senyum bahagia hanyalah sandiwara? pikir saya. Tiba-tiba tercium bau yang
sangat saya kenal dan begitu saya benci. Tanpa dapat saya hindari lintah sudah
berdiri tepat di depan mata saya. Lintah itu sudah berubah menjadi ular
kobrayang siap mematuk mangsanya. Matanya warna merah saga menyala. Jiwa saya
gemetar. Raga saya lumpuh. Ular itu menyergap, melucuti pakaiaan saya,
menjalari satu persatu lekuk tubuh saya. Melumat tubuh saya yang belum berbulu
dan bersusu., dan menari-nari di atasnya memuntahkan liur yang setiap tetesnya
berubah menjadi lintah. Lintah-lintah yang terus menghisap hingga tubuh saya
menjadi merah.
***
Senja kelam hari itu. Hujan deras. Suara petir bertalu-talu.
Sebekas kilat menerangi wajah Ibu.
“Ibu mau bicara padamu, Maha.”
“Saya juga ingin bicara pada Ibu.”
“Ibu akan bicara dulu, Maha. Sesudah itu giliranmu.”
Kembali petir meledak dan kilatnya memperjelas senyum Ibu.
“Kamu sudah besar. Sudah saatnya kamu mempunyai adik.”
Ibu diam menunggu jawaban. Namun saya lebih diam.
“Ibu mengandung, Maha. Dan sebentar lagi Ibu akan menikah.
Sudah lama Ibu hidup sendiri semenjak ayahmu meninggal. Dan kamu sudah lama
hidup tanpa Ayah.”
Mata saya membeliak lebar. Suara petir tidak lagi terdengar.
“Siapakah lak-laki yang berbahagia itu, Ibu? Siapakah
laki-laki yang akan menjadi ayah saya?”
Angin membuka tirai jendela. Sekejap cahaya menerangi
pengharapan jiwa.
“Lintah… .”
Angin mereda. Tirai kembali tertutup. Menghadirkan gelap,
menghadirkan sunyi… .
Jakarta, 4 Juli 1999
*) Seorang tokoh wanita berambut bagai Medusa dalam novel
Jazz, Parfum dan Insiden karya Seno Gumira Ajidarma.
akhirnya ketemu juga, terima kasih atas postingan cerpennya
BalasHapustebal buku nya berapa halaman ?
BalasHapusisi cover belakang nya gimana